Sibukkanlah Diri dengan Ibadah pada Setiap Malam-malam Terakhir Ramadhan
ASSAJIDIN.COM — Banyak orang beranggapan bahwa Lailatul Qadr hanya terjadi pada malam ganjil. Padahal sepuluh malam terakhir Ramadhan bisa jadi adalah malam ganjil dengan pertimbangan genap dan tidaknya bulan Ramadhan menjadi 30 hari.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
ليلة القدر في العشر الأواخر من شهر رمضان، وتكون في الوتر منها، لكن الوتر يكون باعتبار الماضي، فتطلب ليلة إحدى وعشرين، وليلة ثلاث وعشرين، وليلة خمس وعشرين، وليلة سبع وعشرين، وليلة تسع وعشرين، ويكون باعتبار ما بقي كما قال النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ: “لتاسعة تبقى، لسابعة تبقى، لخامسة تبقى، لثالثة تبقى”، فعلى هذا إذا كان الشهر ثلاثين يكون ذلك ليالي الأشفاع، وتكون الاثنين والعشرين تاسعة تبقى وليلة أربع وعشرين سابعة تبقى، وهكذا فسره أبو سعيد الخدري في الحديث الصحيح، وهكذا أقام النبي صلى الله عليه وسلم في الشهر، وإن كان الشهر تسعاً وعشرين كان التاريخ بالباقي كالتاريخ الماضي، وإذا كان الأمر هكذا فينبغي أن يتحراها المؤمن في العشر الأواخر جميعه
“Lailatul Qadr terdapat di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, tepatnya pada malam-malam ganjil.
Akan tetapi, (ada dua cara dalam menghitung) malam ganjil.
*Pertama*, mengacu pada hari yang telah berlalu (menghitung maju dari awal bulan), sehingga Lailatul Qadr dapat dicari pada malam ke-21, ke-23, ke-25, ke-27 dan ke-29.
*Kedua*, malam ganjil juga dapat dihitung dengan mengacu pada malam yang tersisa (menghitung mundur dari akhir bulan) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لتاسعة تبقى، لسابعة تبقى، لخامسة تبقى، لثالثة تبقى
_“Lailatul Qadr ada pada malam kesembilan yang tersisa, pada malam ketujuh yang tersisa, pada malam kelima yang tersisa dan pada malam ketiga yang tersisa.”_ [HR. al-Bukhari].
Berdasarkan hal ini, apabila bulan Ramadhan genap berjumlah 30 hari, maka Lailatul Qadr terdapat pada malam-malam genap, di mana malam ke-22 adalah malam kesembilan yang tersisa dan malam ke-24 adalah malam ketujuh yang tersisa. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu dalam hadits yang shahih. Demikian pula nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam dengan ibadah dalam satu bulan penuh.
Apabila bulan Ramadhan ternyata berjumlah 29 hari, maka perhitungan tanggal untuk malam ganjil yang mengacu pada hari yang telah berlalu akan sama dengan perhitungan yang mengacu pada malam yang tersisa. Dan jika ternyata demikian (Lailatul Qadr bisa terjadi di malam ganjil maupun malam genap), sudah semestinya orang beriman bersungguh-sungguh mencari Lailatul Qadr di seluruh malam terakhir, sebagaimana sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam, _”Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir”._ Dan Lailatul Qadr paling sering terjadi pada tujuh malam terakhir, dan lebih sering lagi terjadi pada malam ke-27, sebagaimana sahabat Ubay bin Ka’ab bersumpah dengan menyampaikan bahwa Lailatul Qadr terjadi pada malam ke-27.” [Majmu’ Fatawa 25/285].
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan,
قول النبي – صلى الله عليه و سلم -: ” التمسوها في تاسعة تبقى، أو سابعة تبقى، أو خامسة تبقى ” إن حملناه على تقدير كمال الشهر كانت أشفاعا، و إن حملناه على ما بقي منه حقيقة كان الأمر موقوفا على كمال الشهر، فلا يعلم قبله، فإن كان الشهر تاما كانت الليالي المأمور بها بطلبها أشفاعا، و إن كان ناقصا كانت أوتارا، فيوجب ذلك الاجتهاد في القيام في كلا الليلتين الشفع منها والوتر
“Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, _“Carilah Lailatul Qadr pada malam kesembilan yang tersisa, pada malam ketujuh yang tersisa, pada malam kelima yang tersisa dan pada malam ketiga yang tersisa”_, jika diandaikan bulan Ramadhan genap berjumlah 30 hari, maka Lailatul Qadr dapat terjadi pada malam-malam genap. Dan jika penghitungannya didasarkan pada jumlah malam yang tersisa, maka hal itu bergantung pada genap tidaknya bulan Ramadhan menjadi 30 hari, sehingga tidak dapat diketahui sebelumnya. Apabila bulan Ramadhan genap berjumlah 30 hari, maka malam-malam yang diperintahkan untuk mencari Lailatul Qadr adalah malam-malam genap. Dan sebaliknya, jika ternyata bulan Ramadhan tidak genap berjumlah 30 hari, maka malam-malam tersebut adalah malam-malam ganjil. Dengan begitu, hal tersebut melazimkan kita untuk bersungguh-sungguh dalam menghidupkan seluruh malam dengan ibadah, baik di malam genap maupun malam ganjil.” [Latha-if al-Ma’arif hlm. 218].
Dengan cara yang berbeda, Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
ﻓﺎﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺗﺴﻌﺎ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻓﺄﻭﻝ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺍﻻﻭﺍﺧﺮ ﺑﻼ ﺷﻚ ﻟﻴﻠﺔ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻣﻨﻪ، ﻓﻬﻰ ﺇﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻭﺇﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﺛﻨﻴﻦ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻭﺇﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺃﺭﺑﻊ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻭﺍﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺳﺖ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻭﺍﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺛﻤﺎﻥ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻻﻥ ﻫﺬﻩ ﻫﻲ ﺍﻻﻭﺗﺎﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺍﻻﻭﺍﺧﺮ، ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻓﺄﻭﻝ ﺍﻟﺸﻌﺮ ﺍﻻﻭﺍﺧﺮ ﺑﻼ ﺷﻚ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﺣﺪﻯ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻓﻬﻰ ﺇﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﺣﺪﻯ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻭﺍﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺛﻼﺙ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻭﺍﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺧﻤﺲf ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻭﺍﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺳﺒﻊ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻭﺍﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺗﺴﻊ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻻﻥ ﻫﺬﻩ ﻫﻲ ﺃﻭﺗﺎﺭ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺑﻼﺷﻚ
“Apabilla bulan Ramadhan berjumlah 29 hari, tentu awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-20, sehingga Lailatul Qadr mungkin jatuh pada malam ke-20, atau ke-22, atau ke-24, atau ke-26, atau ke-28. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.
Apabila bulan Ramadhan berjumlah 30 hari, tentu awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-21, sehingga Lailatul Qadr mungkin jatuh pada malam ke-21, atau ke-23, atau ke-25, atau ke-27, atau ke-29. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.” [al-Muhalla 4/457].
Kesimpulannya, janganlah anda memfokuskan ibadah di malam-malam ganjil saja. Tapi, fokuslah beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadhan, termasuk di malam-malam genap.
Sibuk mencari-cari tanda-tanda Lailatul Qadr*
Hadits-hadits yang menyebutkan tanda-tanda Lailatul Qadr seperti malam yang jernih; tenang; tidak panas, tidak pula dingin; tidak berawan; tidak hujan; tidak pula berangin; dan tidak berbintang dan terdapat meteor; *seluruhnya berderajat dha’if (lemah)*.
Hanya satu tanda Lailatul Qadr yang tepat berdasarkan hadits shahih, tanda itu terjadi setelah Lailatul Qadr berakhir, bukan tanda yang terjadi sebelum atau yang menyertainya. Tanda itu adalah matahari di waktu pagi setelah Lailatul Qadr, terbit dengan pancaran sinar yang tidak menyilaukan.
Sahabat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu pernah ditanya oleh Zirr bin Hubaisy rahimahullah,
سَأَلْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُلْتُ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ يَقُمْ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَقَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَرَادَ أَنْ لَا يَتَّكِلَ النَّاسُ أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِي رَمَضَانَ وَأَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ ثُمَّ حَلَفَ لَا يَسْتَثْنِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا
_“Saya bertanya kepada Ubay bin Ka’b radliallahu ‘anhu. Saya katakan, “Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata, ‘Barangsiapa yang menunaikan shalat malam sepanjang tahun, niscaya ia akan mendapatkan malam Lailatul Qadr.'” Maka Ubay bin Ka’b berkata, “Semoga Allah merahmatinya. Ia menginginkan agar manusia tidak hanya bertawakkal. Sesungguhnya ia telah mengetahui bahwa Lailatul Qadr terjadi pada bulan Ramadlan, yakni dalam sepuluh hari terakhir tepatnya pada malam ke dua puluh tujuh.” kemudian Ubay bin Ka’b bersumpah, bahwa adanya Lailatul Qadr adalah pada malam ke dua puluh tujuh. Maka saya pun bertanya, “Dengan landasan apa, Anda mengatakan hal itu ya Abu Mundzir?” Ia menjawab, “Dengan dasar alamat atau tanda-tanda yang telah dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami, bahwa di hari itu matahari terbit dengan pancaran cahaya yang tidak menyengat.”_ [HR. Muslim: 1999].
Sebagian orang berusaha mengamati pancaran sinar di waktu pagi selepas malam-malam terakhir Ramadhan. Apabila mereka melihat tanda yang sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadits, mereka pun menjadi malas menghidupkan malam-malam yang tersisa.
Hal ini jelas merupakan kelalaian dikarenakan sejumlah hal:
1⃣ Alim ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata asy-syu’a pada hadits di atas. Ibnu Siidah mengatakan,
الشُّعاع: ضوء الشمس، الذي تراه كأنه الحبال مقبلة عليك، إذا نظرت إليها. وقيل: هو الذي تراه ممتداً كالرماح بعيد الطلوع. وقيل: الشُّعاع: انتشار ضوئها
_“asy-Syu’a adalah sinar matahari yang engkau lihat seolah-olah seperti untaian tali yang mendatangimu. Pendapat lain menyatakan asy-syu’a adalah sinar matahari yang memanjang dan terbit menjauh. Pendapat lain menyatakan asy-syu’a cintaadalah sinar matahari yang menyebar.”_ [al-Muhkam 1/65].
(*/sumber :Ayo Belajar Tauhid)