Mengenal Muhajirin dan Anshar, Berperan Penting dalam Dakwah Nabi Muhammad SAW
ASSAJIDIN.COM — Ada dua kaum yang memiliki peran besar dalam dakwah islam nabi Muhammad SAW semasa beliau berjuang. Yaitu kaum Muhajirin dan Kaum Anshar.
Muhajirin adalah orang-orang yang berhijrah dari Mekah ke Madinah demi menyelamatkan iman dan agama mereka. Muhajirin pindah ke Madinah dalam keadaan susah kerena meninggalkan segala miliknya, termasuk rumah, tanah dan harta benda lainnya. Mereka melakukan itu semua karena Allah dan Rosulullah.
Anshar berarti para penolong. Mereka adalah para penduduk Madinah dari Bani Aus dan Khazraj yang bersumpah setia untuk menolong Rosulullah SAW dan kaum Muslim Mekah. Mereka menyediakan rumah, makanan, dan kehidupan bagi para saudara Muhajirin mereka dari Mekah
Dalam sejarah dakwah Rosulullah Muhammad SAW kita mengenal adanya dua kaum yang sering disebut yaitu kaum muhajirin dan kaum Anshor.
Persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar lebih kuat daripada ikatan nasab dan kerabat.
Persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar Persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar telah menjadi teladan dan pilar ditegakkan Nabi saw dalam membangun masyarakat.
Pilar ini yang seharunya tetap dilestarikan hingga sekarang betapa penting persaudaraan sesama muslim.
Berikut arti penting persaudaraan
1. Persaudaraan Menjadi Modal Utama Kemajuan Negara mana pun mustahil dapat bangkit dan maju apabila rakyatnya tidak bersatu. Persatuan mustahil terwujud tanpa persaudaraan dan kasih sayang. Setiap komunitas yang tidak diikat dengan tali persaudaraan dan cinta kasih mustahil memiliki kesatuan pandangan dalam memegang prinsip hidup bersama.
Selama persatuan hakiki tidak ditemukan pada suatu komunitas, selama itu pula suatu negara tidak bisa terbentuk dan berdiri tegak.
2. Persaudaraan Membentuk Masyarakat yang Saling Menolong Suatu komunitas dapat dibedakan dari sekumpulan orang yang tercerai-berai dengan adanya satu hal, yaitu penegakan prinsip kebersamaan dan tolong-menolong antaranggota komunitas dalam berbagai sisi kehidupan. Jika kebersamaan dan tolong-menolong dijalankan sesuai prinsip keadilan dan persamaan, mereka bisa disebut masyarakat yang adil dan baik. Namun, jika kebersamaan dan tolong-menolong dijalankan untuk menindas dan berbuat zalim, maka mereka pantas disebut masyarakat yang zalim dan buruk. Masyarakat yang baik berdiri di atas prinsip keadilan. Apa yang bisa menjamin keadilan bisa direalisasikan secara baik dan benar? Tidal lain adalah kekuatan yang sesuai fitrah manusia, yakni persaudaraan dan cinta kasih antaranggota masyarakat, baru setelah itu kekuasaan, dan undang-undang.
Menurut Syekh al-Buthi, kekuasaan sekuat apa pun tidak akan bisa mewujudkan prinsip-prinsip keadilan antarindividu jika tidak didasari persaudaraan dan cinta kasih yang tulus. Tanpa persaudaraan dan cinta kasih, prinsip-prinsip keadilan justru akan menjadi sumber kedengkian dan kebencian di antara individu. Jika hal itu terjadi, masyarakat akan dihancurkan oleh kezaliman dan kesewenang-wenangan. Atas dasar itu, Nabi saw menjadikan persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar sebagai fondasi untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial.
Semua itu kemudian diaplikasikan di tengah masyarakat yang diakui dunia memiliki sistem sosial paling unggul dan paling canggih pada zamannya. Tahap demi tahap, prinsip-prinsip keadilan itu berkembang dalam wujud hukum dan undang-undang yang bersifat mengikat. Namun semuanya tetap didasarkan atas fondasi utama, yaitu Ukhuwwah Islamiyah.
3. Persaudaraan merupakan Nilai Universalitas Islam Prinsip persaudaraan yang ditanamkan Nabi saw pada komunitas Islam di Madinah bukan sekadar slogan kosong yang diperbincangkan dari mulut ke mulut, melainkan kebenaran praktik yang terhubung langsung dengan realitas kehidupan dan relasi sosial antara kaum Muhajirin dan Anshar. Berdasarkan persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar inilah Nabi saw memberi tanggung jawab kepada para sahabat, yang kemudian mereka tunaikan secara baik. Hal itu dibuktikan misalnya, dalam kisah Sa‘d bin ar-Rabi ra yang dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf ra. Saat Abdurrahman ra tiba di Madinah, Sa‘d ra menawarinya separuh harta dan rumahnya. Akan tetapi, Abdurrahman ra menolaknya dengan santun. Ia mengucapkan terima kasih dan meminta ditunjukkan jalan ke pasar Madinah untuk mencari nafkah secara mandiri. Atas dasar persaudaraan itu pula Nabi saw sempat menetapkan hak waris bagi mereka, meskipun tidak memiliki hubungan nasab dan kekerabatan. Penetapan hak waris ini dimaksudkan agar persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar diwujudkan dalam tindakan nyata yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Penetapan itu juga agar mereka mengetahui bahwa persaudaraan dan cinta kasih bukan hanya slogan kosong, melainkan ajaran agung yang berdampak nyata sebagai pilar penting dalam upaya mewujudkan keadilan sosial.
Semua itu menegaskan kepada kita, agama Islam menjadi tali pengikat dan landasan utama bagi hubungan persaudaraan. Akan tetapi persaudaraan itu harus diperbarui dan dikuatkan lagi setelah hijrah, mengingat tuntutan keadaan dan berkumpulnya kaum Muhajirin dan Anshar dalam satu wilayah. Namun, pada hakikatnya, persaudaraan itu tak lain merupakan persaudaraan yang berdiri di atas landasan universalitas Islam, yang harus terus dikukuhkan dan diperbarui. Demikianlah persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar menjadi pilar kedua dakwah Islam setelah peristiwa hijrah Nabi saw ke kota Madinah. Wallâhu a’lam. (Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sîrah an-Nabawiyah, [Beirut, Dârul Fikr: 2012], halaman 161-163). (*/Sumber: tribunsumsel)