NASIONAL

Menurunnya Moralitas Jurnalis Melahirkan Produk Jurnalis Yang Dangkal

Potret Panjang Perjalanan Pers Indonesia

Oleh : Hasandri Agustiawan Komisioner KPID Sumsel

ASSAJIDIN.COM — Setiap Tanggal 9 Februari selalu diperingati sebagai Hari Kelahiran Pers Nasional sekaligus sebagai hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia PWI. Perjalanan panjang pers Indonesia yang dimulai dari priode sebelum kemerdekaan Indonesia yang lebih dikenal sebagai Pers Pejuangan, kemudian Pers Ode Lama, Pers Orde Baru, Pers Reformasi hingga kini, keberadaan pers mempunyai peran dan catatan masing – masing di tengah masyarakat. Ketika masa perjuaangan atau sebelum kemerdekaan Indonesia, peranan pers sangat vital dalam rangka membangkitkan girah atau semangat berjuang rakyat Indonesia untuk melawan penjajah.Musuh utama pers adalah penjajah, dan bagaimana penjajahan di bumi tercinta segera lenyap.

Sementara saat ini peran pers dalam ketidakpastian, ditengah serbuan gelombang medsos yang tidak terbendung pers berada dalam tidak kepastian. Masyarakat mulai menjauh, tidak peduli bahkan ada yang melupakan.

Perkembangan pers Indonesia di era orde lama dibagi menjadi tiga masa, yaitu masa revolusi fisik, masa demokrasi liberal, dan masa demokrasi terpimpin. Masa revolusi fisik merupakan masa di mana bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Masa ini berlangsung dari tahun 1945 sampai 1949. Pada masa ini, pers dibagi menjadi dua golongan yaitu pers yang diterbitkan oleh tentara sekutu dan Belanda atau disebut Pers NICA serta pers yang diterbitkan oleh rakyat Indonesia atau disebut Pers Republik.

Kedua pers tersebut memiliki agenda yang berbeda. Pers Nica berisikan propaganda yang ditujukan untuk memengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di Indonesia.( kompas.com). Artinya pers di masa revolusi fiskik mempunyai kepentingan yang berbeda Perbedaan ini setidaknya membangkitkan semangat menulis, semangat juang yang tinggi untuk membentuk opini publik sesuai dengan misi besar masing – masing media masa.

Pada masa revolusi fisik ini pula terjadi peristiwa penting terkait perkembangan pers di Indonesia. Peristiwa tersebut yaitu didirikannya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tanggal 9 Februari 1946 dan didirikannya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) pada tanggal 8 Juni 1946. Kedua organisasi tersebut memegang peranan penting dalam sejarah pers Indonesia. Sejak dua organisasi tersebut berdiri, berbagai surat kabar mulai bermunculan di Indonesia.

Kemunculan berbagi pers pada masa revolusi fisik ini hanya memiliki satu tujuan, yaitu membantu pemerintah untuk berjuang mengusir penjajah. Tujuan tersebut berbuah manis ketika dunia internasional mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949.

Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh dunia internasional menjadi awal kebebasan pers di era orde lama. Masa demokrasi liberal Setelah pengakuan kedaulatan oleh dunia Internasional, sistem pemerintahan Indonesia berubah menjadi sistem parlementer yang berpaham liberal atau dikenal dengan demokrasi liberal. Masa ini berlangsung dari tahun 1950 sampai tahun 1959.

Perubahan sistem pemerintahan tersebut berdampak pula pada perubahan sistem pers di Indonesia. Sistem pers nasional akhirnya menganut sistem liberal juga, yang erat kaitannya dengan kebebasan. Kebebasan tersebut tercermin dari perubahan fungsi pers di Indonesia. Apabila di masa revolusi fisik pers digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kemerdekaan, maka pada masa demokrasi liberal ini pers digunakan sebagai alat komunikasi partai politik.
Pemberitaan pers pada masa ini didominasi oleh kepentingan partai politik. Hal ini bisa terjadi karena bantuan pendanaan yang dilakukan oleh partai politik terhadap perusahaan pers.

Akibatnya, pers cenderung menjadi partisan dan menjadi alat perjuangan partai politik. Bahkan pemberitaan pers pada masa ini diwarnai dengan pertentangan antarpartai politik yang muncul di halaman-halaman media cetak. Septiawan Santana dalam bukunya Jurnalisme Kontemporer (2017), menjelaskan bahwa meskipun pers pada masa ini digunakan sebagai alat komunikasi partai politik, para pengamat menilai masa ini merupakan masa emas kebebasan pers di Indonesia.

Bahkan kebebasan pers di Indonesia pada masa ini mendapat pujian dunia internasional, yakni dari Majalah IPI-Report (International Press Institue), terbitan oktober 1952.
Masa demokrasi terpimpin Kebebasan pers yang berlangsung pada masa demokrasi liberal tidak berlangsung lama.

Berbagai gejolak politik yang terus terjadi akhirnya membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno memegang kekuasaan tunggal dan membubarkan konstituante.

Presiden Soekarno mulai bertindak otoriter, termasuk pada pers. Kritik terhadap pemerintah mulai melunak dan kebebasan pers perlahan mulai tergerus pada masa demokrasi terpimpin. Dalam buku Perkembangan Pers di Indonesia (2010) karya Akhmad Efendi, dijelaskan bahwa masa demokrasi terpimpin merupakan masa terburuk bagi kebebasan pers di era orde lama.

Pada masa ini, pers diatur secara ketat dan harus berfungsi sebagai alat revolusi pemerintah. Pers juga digunakan untuk mendukung keberadaan pemerintah serta kebijakan-kebijakannya. Masa demokrasi terpimpin merupakan masa berkuasanya pers komunis dan pers simpatisan-simpatisannya. Sebab pers komunis merupakan pers yang mendukung Ideologi Nasakom, yaitu ideologi yang diinginkan Soekarno.

Lihat Juga :  Dalam Melaksanakan Tugas agar Selalu Mendapatkan Keselamatan, Ditreskrimum Polda Sumsel Gelar Yasinan

Pers lainnya yang menentang rezim Soekarno atau tidak mendukung Ideologi Nasakom akan diasingkan, bahkan dibredel (pencabutan izin terbit). Pengekangan terhadap pers ini berlangsung hingga runtuhnya pemerintahan orde lama.(kompas.com).

Seiring runtuhnya kekuasaan pemerintah orde lama dan digantikan dengan pemerintahan orde baru, kehidupan pers di Indonesia pun perlahan memperoleh kebebasan. Kebebasan tersebut diperoleh setelah pemerintahan orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers.

Undang-undang tersebut mengatur bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara serta penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun. Pada kenyataannya, para penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang saling terkait. Dua izin tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB.

Meskipun harus memiliki surat izin, ketegangan antara pers dengan pemerintah belum terlihat ketika awal-awal pemerintahan orde baru. Pada masa awal pemerintahan orde baru, pers, dan pemerintah memiliki hubungan yang harmonis. Baca juga:

Pers di Era Orde Lama Hal ini terjadi karena pemerintah orde baru menjajikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Kondisi tersebut disambut baik oleh insan pers sebab di era pemerintahan yang lalu, yaitu orde lama, kondisi tersebut tidak didapatkan. Pers Indonesia di era orde baru sering disebut sebagai pers pancasila. Ciri pers pancasila adalah bebas dan bertanggung. Namun sayangnya, kebebasan tersebut hanya didapat pada saat awal-awal pemerintahan orde baru saja. Kebebasan pers memudar Kebebasan pers mulai sirna ketika terjadi Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Dalam peristiwa ini terjadi demonstrasi besar-besaran Jakarta.

Demonstrasi ini dipicu oleh kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka. Apabila dilihat lebih jauh, aksi tersebut berakar dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi. Akibat peristiwa tersebut banyak aktivis yang ditangkap.

Tidak hanya aktivis, peristiwa tersebut juga berdampak pada kehidupan pers.
David T. Hill dalam bukunya Pers di Masa Orde Baru (2011), menjelaskan bahwa setelah Peristiwa Malari ada 12 pers yang kehilangan surat izin terbit dan surat izin cetak atau bisa dibilang dibredel oleh pemerintah.

Sejak Peristiwa Malari, pemerintah mulai memperhatikan dan menekan pers. Tekanan terhadap pers semakin terasa ketika pemerintah orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers. Undang-undang tersebut merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966.

Apabila dalam undang-undang nomor 11 tahun 1966 tidak mengatur surat izin penerbitan pers, maka dalam undang-undang nomor 21 tahun 1982 surat izin pers benar-benar diatur. Surat izin tersebut dikenal sebagai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

SIUPP dikeluarkan oleh Departemen Penerangan. Departemen Penerangan dan SIUPP merupakan faktor yang menjadi penghambat kebebasan pers pada masa orde baru.

Perusahaan pers dituntut sejalan dengan kebijakan pemerintahan orde baru. Apabila perusahaan pers tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah atau malah mengkritik kebijakan pemerintah, maka SIUPP-nya akan dicabut (dibredel) oleh Departemen Penerangan.

Meskipun begitu, masih banyak perusahaan pers yang tetap mengkritik pemerintahan orde baru. Tempo, DeTik, dan Editor merupakan perusahaan pers yang pernah dibredel oleh pemerintahan orde baru. Dalam buku Perkembangan Pers di Indonesia (2010) karya Akhmad Efendi, dijelaskan bahwa pada masa orde baru, segala penerbitan pers berada dalam pengawasan pemerintah, yaitu melalui Departemen Penerangan.

Apabila tetap ingin hidup, maka pers harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintah orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasannya. Sehingga pers tidak bisa menjalankan fungsinya yang sesungguhnya, yaitu mengawasi kinerja pemerintah dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Penekanan terhadap pers ini berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah orde baru.

Setelah mengalami pengekangan yang begitu lama di era pemerintahan orde baru, kehidupan pers di Indonesia akhirnya benar-benar mendapatkan kebebasan ketika reformasi bergulir pada bulan Mei 1998.

Reformasi bergulir karena masyarakat menginginkan reformasi pada segala bidang, baik ekonomi, sosial, dan budaya yang pada masa pemerintahan orde baru terbelenggu. Termasuk reformasi pada bidang pers. Reformasi pada bidang pers ditujukan agar kehidupan pers di Indonesia benar-benar memperoleh kebebasan. Langkah pertama untuk memulai kebebasan pers di Indonesia adalah dengan mencabut aturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan dicabutnya SIUPP, akhirnya berbagai perusahaan pers baru bermunculan, baik itu media cetak, televisi, maupun radio.

Lihat Juga :  Divonis Idap Kanker Darah, SBY dan Keluarga Mohon Doa Masyarakat Indonesia untuk Kesembuhan Ani Yudhoyono

Munculnya berbagai macam perusahaan pers tersebut merupakan bentuk sukacita setelah sekian lama dibelenggu oleh kekuasaan pemerintah orde baru. Selain dicabutnya SIUPP, upaya lainnya adalah penghapusan Departemen Penerangan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Departemen Penerangan di era pemerintahan orde baru memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menekan dan mengatur pers. Oleh sebab itulah, Departemen Penerangan dihapus agar pers bisa leluasa melaksanakan kegiatan jurnalistiknya.

Selain kedua tindakan tersebut, ada satu tindakan terpenting untuk memulai kebebasan pers di Indonesia yaitu diterbitkanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini merupakan tonggak awal kebebasan pers di Indonesia.
Kemerdekaan pers Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Inge Hutagalung dalam jurnalnya Dinamika Sistem Pers di Indonesia (2013) menjelaskan bahwa dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, secara normatif pers di Indonesia telah menganut sistem pers tanggung jawab sosial. Sistem pers tanggung jawab sosial menekankan kebebasan pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat atau kepentingan umum.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 juga memberikan kewenangan pada masyarakat untuk mengontrol kinerja pers. Hal tersebut jelaslah berbeda dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 1982 yang memberikan wewenang pada pemerintah orde baru untuk mengontrol kinerja pers.

Ketika reformasi bergulir, berbagai elemen masyarakat Indonesia berusaha untuk menata kembali sistem demokrasi yang ideal. Salah satunya adalah dengan menegakkan kebebasan pers. Sebab kebebasan pers merupakan cermin sistem demokrasi yang ideal. Dalam buku Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi (2012) karya Henry Subiakto dan Rachmah Ida, dijelaskan bahwa melalui kebebasan pers masyarakat dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Selain itu, dengan adanya kebebasan, pers bisa secara leluasa menjalankan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Namun apa yang terjadi saat ini, kemajuan tekhnologi telah memaksa pers kembali jatuh pada titik nadir yang sangat lemah. Menghilangnya pembaca dari media – media massa saat ini lebih disebabkan oleh sang penulis atau wartawan. Hilangnya moralitas wartawan atau jurnalis disebut sebagai salah satu penyebab. Padahal tugas wartawan dan media tidak sebatas berperan sebagai penyampai informasi kepada masayarakat semata, tetapi lebih dari itu, wartawan dituntut sesuai dengan moral (etika) jurnalistiknya dapat melahirkan berita-berita yang mampu membuat masyarakat memahami dan mengambil pelajaran yang berguna dari berita yang dipublikasikan.

Moral adalah sikap dan perilaku ideal berdasarkan pertimbangan akal yang dimiliki manusia. Hanya moral yang baik dan keberhati-hatian yang dapat menolong seorang wartawan dalam urusan ini. Seorang wartawan tidak akan menguraikan secara detail keadaan seorang korban pemerkosaan, yang mengalami trauma yang sangat memilukan, seandainya ia sadar bahwa deskripsi tentang keadaan korban akan menyebabkan pembaca dihantui rasa kecewa, marah, sehingga terganggu secara psikologis, atau tertusuk nurani kemanusiaannya. (Maskun Iskandar, 2004).

Moralitas dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Dalam batasan pengertian tersebut, maka moral bisa untuk dimensi duniawi dan bisa untuk ukhrawi. Rasa tanggung jawab para wartawan muslim kepada Allah dan kepada masyarakat merupakan suatu kewajiban.

Firman Allah dalam surat An-Nahlu ayat 125, Artinya, “Ajaklah kepada jalan Tuhannya dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan penerangan yang baik dan berdiskusilah dengan cara yang lebih baik,” (QS. An-Nahl: 125)

Peran wartawan yang dianggap sebagai penyampai informasi lewat tulisan, harus mengedepankan moral kewartawanannya secara benar sesuai dengan yang diamanahkan oleh kode etik jurnalistik itu sendiri. Disamping itu, wartawan yang juga sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) berkewajiban melakukan perubahan perilaku sosial masyarakat menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Nilai-nilai profesional bagi wartawan sebagaimana tercantum dalam setiap kode etik pers adalah akurasi, objektivitas, dan keseimbangan. Media cetak memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi sekaligus merubah pola pikir, sikap dan perilaku publik. Karenanya, media selain berfungsi menyiarkan informasi, media juga berfungsi mendidik, mengajak, dan menyajikan ruang ilmu pengetahuan bagi pembacanya. Bahkan, peranan media sebagai sarana komunikasi, sangat menentukan perubahan moral dan watak masyarakat. ( Berbagai sumber).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button