LENTERA

Berbakti kepada Orangtua atau Berjihad?

AsSAJIDIN.COM — Saya ingin turut serta berjihad, hal itu telah membahana di lubuk hati saya, rasanya sudah tidak sabar lagi. Saya telah mencoba meminta restu ibu saya, tapi beliau tidak setuju. Karena itu, sering kali hal ini membuat saya kecewa dan saya tidak bisa men-jauhkan diri dari jihad .. Syaikh yang mulia, angan-angan saya dalam hidup ini adalah jihad fi sabilillah dan terbunuh di jalan Allah, tapi ibu saya tidak menyetujui. Tolong beri saya petunjuk ke jalan yang sesuai.

Mungkin tekad ini pernah melekat di benak kita. Jihad, jihad dan jihad… Sudah benarkah langkah kita itu? Apalagi tak direstui orangtua?

Ketahuilah, jihad dengan berbakti (mematuhi) ibu/bapak adalah jihad yang besar. Berbaktilah kepadanya dan berbuat baiklah terhadapnya, kecuali bila penguasa menugaskan anda untuk ber-jihad, maka sambutlah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan jika kalian diperintahkan untuk pergi berperang, maka berangkatlah.” (HR. Al-Bukhari dalam Jaza’ ash-Shaid (1834); Muslim dalam al-Hajj (1353)).

Selama penguasa tidak memerintahkan anda, maka tetaplah anda berbuat baik kepada ibu anda dan menyayanginya. Perlu diketahui, bahwa berbakti kepadanya termasuk jihad yang agung yang lebih didahulukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada jihad fi sabilillah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seseorang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,

Lihat Juga :  7 Cara Mencegah Kakak-Adik Berselisih, Insya Allah Manjur...

“Beriman kepada Allah dan RasulNya. ”
Ditanyakan lagi, ‘Lalu apa lagi? “Beliau menjawab,

“Berbakti kepada kedua orang tua. ”
Ditanyakan lagi, ‘Lalu apa lagi? ” Beliau menjawab,

“Jihad di jalan Allah.” (Disepakati keshahihannya. HR. Al-Bukhari dalam Mawaqit ash-Shalah (527); Muslim dalam al-Iman (58) dengan sedikit perbedaan).

Beliau mendahulukan berbakti kepada kedua orang tua daripada jihad. Pernah seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta izin, laki-laki tersebut berkata,
“Wahai Rasulullah, aku ingin berjihad bersamamu.” Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuanya masih hidup?” Ia menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah pada keduanya.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Jihad (3004); Muslim dalam Al-Birr (2549)).

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau bersabda,

“Kembalilah kepada mereka berdua lalu mintalah izin dari mereka. Jika mereka mengizinkanmu, maka berjihadlah, tapi jika tidak, maka berbaktilah kepada mereka. ” (HR. Abu Daud dalam al-Jihad (2530); Ahmad (27320) dari hadits Abu Sa’id).

Sementara anda, itu adalah ibu anda, maka sayangilah ia dan berbuat baiklah kepadanya sampai ia rela terhadap anda. Ini berlaku untuk jihad karena keinginan sendiri dan selama penguasa/pemerintah tidak memerintahkan untuk berangkat.

Lihat Juga :  Apakah Kesombongan Itu? Jadi Penyebab Iblis Diusir Allah dari Surga

Namun bila datang serangan menghampiri anda, maka pertahankanlah diri anda atau saudara-saudara anda seiman, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Begitu juga bila penguasa memrintahkan anda untuk berangkat berperang, walau-pun tanpa restu ibu anda, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ,

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal ditempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan tidak akan dapat memberi kemudharatan kepadaNya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ” (At-Taubah: 38-39).

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan jika kalian diperintahkan untuk pergi berperang, maka berangkatlah. ” (Disepakati keshahihannya. HR. Al-Bukhari dalam Jaza’ ash-Shaid (1834); Muslim dalam al-Hajj (1353)). (*/sumber: Kajian Sunnah)

Rujukan:
Majalah al-Buhuts, nomor 34, hal. 146-147, Syaikh Ibnu Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, penerbit Darul Haq

Back to top button