JANGAN SAMPAI DURHAKA KEPADA ORANG TUA

ASSAJIDIN.COM — Suatu kisah yang mungkin telah akrab di telinga sebagian pembaca. Kisah tentang Juraij, sosok pemuda shalih dari kalangan bani Israil yang menjadi buah bibir kaumnya karena ketaatannya. Suatu ketika, saat Juraij sedang shalat di dalam mihrab, ibundanya memanggil. Hati pemuda ni pun berbisik penuh kebimbangan, “Ya Allah, manakah yang harus kupilih, shalatku ataukah menjawab panggilan ibuku?” Ia pun memilih untuk meneruskan shalatnya. Kejadian serupa terulang keesokan harinya. Rupannya sikap Juraij yang tidak menjawab panggilan ibundanya, membuat sang Ibu kecewa dan marah. Akhirnya terucaplah sebait doa dari kedua bibirnya, “Ya Allah, jangan kau wafatkkan Juraij sebelum ia bertemu dengan wanita pezina”. Doa sang Ibu menjadi kenyataan, Juraij dituduh berzina dengan seorang pelacur hingga si wanita melahirkan bayi.
Hanya saja kuasa Allah membuat sang bayi mampu berbicara dan menjelaskan siapa sebenarnya ayah sang bayi. Juraij pun terbebas dari tuduhan berzina.
Penuturan kisah diatas menunjukkan betapa penting memperhatikan orang tua. Hanya tidak menjawab penggilan ibundanya saja sudah demikan akibatnya. Apalagi dengan ‘uquuqul walidain (durhaka kepada orang tua) yang banyak menyentuh keseharian manusia. Jelas sekali, uquuqul walidain merupakan akhlak tercela yang berseberangan dengan jiwa Islam. Islam dengan lantang mengumandangkan birrul walidain (berbakti kepada orang tua) sebagai akhlak mulia. Islam dengan gamblang menjelaskan tentang agungnya hak kedua orang tua, kebesaran derajat dan luhurnya martabat mereka. Perintah yang tergurat secara tegas untuk berbakti kepada kedua orang tua serta larangan keras mendurhakai mereka berulang-ulang diulas dalam Kitabullah dan diperinci lebih dalam di sunnah Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kiranya, betapapun Islam telah memahatkan keagungan pada kedudukan orangtua, tetap saja fenomena uquuqul walidain ini bergulir, semakin menyebar dan menjelajah dalam denyut kehidupan. Manusia semakin jauh dari tuntunan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Budaya Barat yang jelas-jelas menyelisihi etika Islam menjadi sandaran banyak orang.
Teladan Salafush Shalih yang mengukir sejarah kehidupan di atas pendar cahaya keimanan menjadi hal asing dan tak dikenal.
Pembahasan masalah uquuqul walidain ini sangat perlu untuk diketengahkan, agar kita dapat menjauhinya, dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang terjerumus pada perbuatan dosa besar ini agar segera bertaubat dari kesalahannya, Kesalahan bukan hal paten yang tidak bisa diubah dan dikoreksi, dan koreksi atas sebentuk kesalahan adalah sebuah kemungkinan. Karena manusia selalu berubah. Dan tidak ada perubahan yang diharapkan kecuali ke arah yang lebih baik. Perubahan merupakan dinamika kehidupan manusia sebagai sunnahtullah yang berlaku bagi hamba-Nya.
Jika saja seorang hamba mau meniti jalan yang mengantarkan mereka kepada sebaris solusi dari sekerat permasalahan, sebagaimana firman Allah Ta’ala
إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri [Ar Ra’du/13 : 11].
Dan juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَ إِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّجَلُّمِ، وَ مَنْ يَتَحَرَّ الْخَيْرَ يُعْطِهِ، وَ مَنْ يَتَوَقَّ الشَّرَّ يُوْقَ
“Sesungguhnya ilmu didapatkan melalui belajar, sikap santun diperoleh melalui berlatih, barangsiapa bersungguh-sungguh mencari kebaikan niscaya akan diberi, dan barang siapa menjaga diri dari kejelekan niscaya akan dijaga“. [Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam tarikhnya 9/127 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Ash shahihah (342)]