KALAMLENTERA

Meraih Berkah Lewat Hidup Sederhana

ASSAJIDIN.COM — Hidup sederhana itu sangatlah indah dan penuh berkah.

Keberkahan yang kita raih insya Allah menjadikan kita hamba Allah yang penuh rasa syukur dan disayangi-Nya.

Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Sholahuddin Al Aiyub, Islam mengajarkan kepada kita agar  senan tiasa menghindari perilaku berlebihan (israf).

Dalam Islam, seorang Muslim diajarkan untuk menjalani kehidupan yang sederhana dan menjauhi sikap israf tersebut.

“Kehidupan sederhana adalah yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Hidup sederhana lebih banyak terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bersifat dharuriyah dan hajiyat, ujar Kiai Aiyub.

Dalam Islam, ada kebutuhan yang masuk kategori dharuriyah, yaitu kebutuhan pokok atau biasa disebut kebutuhan primer.

Di bawah dharuriyah, ada kebutuhan hajiyat atau kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tahsiniyat atau kebutuhan tersier.

Lihat Juga :  40 Pekerja Asing di Dubai Ramai-ramai Bersyahadat

Kebutuhan primer antara satu orang dan yang lainnya tentu sama.

Sedangkan kebutuhan sekunder adalah penunjang bagi seseorang dalam menjalani aktivitas profesi dan sosialnya.

Jika seseorang memiliki mobilitas yang tinggi, mungkin membutuhkan mobil.

Namun, ada orang yang dengan mobilitasnya itu cukup dengan motor.

Perbedaan mencolok antara satu orang dan yang lain ada dalam kategori kebutuhan tahsiniyat atau tersier.

Standar seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan tersier ini berbeda-beda.

Karena itu, di sinilah pentingnya kesadaran bahwa barang tersier ini dibutuhkan atau tidak.

Kiai Aiyub mencontohkan, tas sebetulnya masuk kebutuhan sekunder untuk menampung berbagai barang.

Namun, bagi sebagian orang tertentu, tidak cukup hanya dengan tas dan fungsinya.

Lihat Juga :  Sepak Terjang Debby Almontaser, Muslimah yang Membacakan Doa di Pelantikan Presiden Amerika Serikat Joe Biden

Mereka merasa harus menggunakan tas dengan merek- merek tertentu sehingga ini sudah masuk kategori tersier.

Pada masa awal Islam, orang- orang dengan strata sosial tinggi menggunakan pakaian yang kainnya sampai terseret-seret menyapu tanah.

Lalu, Nabi Besar Muhammad SAW memasukkan mereka dalam golongan minal khuyala’ yaitu orang-orang yang menyombongkan diri.

Padahal, bahan pakaian yang digunakan semestinya cukup disesuaikan dengan kebutuhan.

Padahal, secara fungsinya sudah mencukupi, tetapi karena untuk gengsi atau prestise, seseorang mengikuti model tertentu yang dalam dunia modern menjadi sesuatu yang meningkatkan prestise.

Nah, yang seperti ini tidak diajarkan dalam Islam, tuturnya. (*/republika.co.id)

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button