SYARIAH

Ghibah, dan Cara Melawan dan tidak Terlena dengan Perilaku ini

AsSAJIDIN.COM — Dari Abu Hurairah RA. ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Umatku akan mendapatkan ampunan, kecuali orang yang terang-terangan membuka aibnya. Termasuk yang demikian adalah seseorang yang berbuat dosa di malam hari, kemudian di pagi hari Allah telah menutupi perbuatannya dan menceritakan, “Hai fulan aku tadi malam berbuat begini begitu”. Padahal malam itu Allah telah menutupi perbuatannya namun pagi harinya ia malah membuka sendiri perbuatannya yang telah Allah tutupi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di era industri teknologi dan informasi seperti sekarang, batas antara ruang domestik dan ruang publik seseorang atau keluarga sangatlah tipis. Persoalan atau masalah yang sifatnya sangat pribadi (privacy) serta urusan rumah tangga sudah menjadi konsumsi untuk umum, apalagi menyangkut dunia selebritis. Pernak-pernik sekitar kehidupan seorang artis (selebritis) sebagai public figure dikuliti habis oleh pihak infotainment dan menjadi sarapan pagi kita, menjadi teman di waktu makan siang, atau bahkan menjadi pengantar kita ke peraduan. Misalnya, urusan kawin dan cerai (yang menjadi penyakit selebriti sekarang) sudah bukan lagi urusan domestik, tetapi boleh dinikmati sepuas-puasnya oleh publik atau orang lain (khususnya pemirsa televisi) sebagai suatu tontonan yang menghibur.

Fenomena di atas sekarang dikenal sebagai tayangan infotainment yang sedang laris manis di hampir semua stasiun televisi, dengan menu utamanya, yaitu gosip. Gosip di satu sisi (bagi pengelola infotainment) menjadi lahan subur yang “mengasyikkan” sekaligus menguntungkan, sementara di lain sisi (bagi selebritis yang nota bene “korban” gosip) umumnya dianggap sebagai nilai minus bagi perjalanan karirnya.

Inilah sisi lain dari perkembangan iptek di bidang informasi yang – disadari atau tidak – telah hadir di tengah-tengah kita. Masyarakat kita yang mayoritas muslim telah mengalami pergeseran nilai dan norma. Hal-hal yang tadinya bersifat privat dan tabu untuk diekspos, seperti urusan rumah tangga, sekarang sudah menjadi konsumsi umum (publik).

Apalagi segala sesuatu yang berkaitan dengan public figure, seolah-olah semuanya wajib diketahui oleh khalayak umum, termasuk urusan pribadi mereka. Akhirnya, ngegosip pun menjadi tayangan yang laris manis di mayoritas stasiun tivi tanah air. Budaya permisif (serba boleh) tampaknya telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat kita dewasa ini.

Gosip dalam kajian agama dikenal dengan istilah ghibah (menggunjing).

Lihat Juga :  Syarat Diterimanya Puasa, Tausiah Ustadz Muhammad Roofi' Lc

Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mendefinisikan ghibah yaitu menyebut saudaramu dengan hal yang tidak disukainya jika ia mendengarnya, baik kamu menyebutnya dengan kekurangan yang ada pada badan, nasab, akhlak, perbuatan, perkataan, agama, atau dunianya, bahkan pada pakaian, rumah dan kendaraannya. Misalnya, kita menyebut seseorang itu pendek, hitam, pesek atau semua hal yang menggambarkan sifat badan yang tidak disukainya, berarti kita telah berbuat ghibah. Termasuk kategori ghibah, menurut Al Ghazali, adalah isyarat, anggukan, picingan, bisikan, tulisan, gerakan dan semua hal yang memberi pemahaman tentang apa yang dimaksud (tentang kekurangan seseorang dan itu tidak disukainya), maka ia masuk ghibah dan diharamkan.

Masalah ghibah dalam Islam termasuk perkara yang penting dan berat yang menyangkut hati (kejiwaan) seseorang. Orang yang suka berghibah adalah tanda orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Dengan kata lain, ghibah adalah penyakit hati.

Membicarakan, menggunjing atau menggosipkan orang lain (apalagi kekurangannya) memang “mengasyikkan” dan cenderung lupa akan diri sendiri. Tidak ada manfaat dari ghibah kecuali hanya sekedar pengisi waktu luang yang sia-sia (laghwi) sekaligus menambah dosa. Padahal akibat dari perbuatan tersebut cukup fatal dan berbahaya bagi orang yang digosipkan, antara lain muncul pertikaian dan permusuhan dengan orang lain, bahkan bisa memperuncing dan memperparah masalah.

Al Qur’an menggambarkan orang yang menggunjing saudaranya (ghibah) seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, dalam Alquran :

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjng sebagian yang lain. Suka kah salah seorang dii antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (QS: Al Hujuraat : 12).

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sendiri telah melarang perbuatan ghibah beriringan dengan larangan perbuatan-perbuatan keji lainnya. Sabdanya : ”Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, dan janganlah kalian saling membuat makar. Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Mengingat begitu besar bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan ghibah (diantaranya permusuhan atau pertumpahan darah sesama manusia), maka balasan bagi para pelaku ghibah juga sangat berat dan hina. Allah memberikan balasan siksa di dalam kubur berupa siksa, begitu juga balasan siksa di akhirat nanti. Jabir RA berkata, kami pernah bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dalam suatu perjalanan, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam Shalallahu ‘Alaihi Wassallam melewati dua kuburan yang penghuninya tengah disiksa. Lalu Nabi bersabda : “Sesungguhnya keduanya disiksa dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Yang satu (disiksa karena) dahulu menggunjing orang, sedangkan yang lain (disiksa karena) dahulu tidak membersihkan kencingnya.” Kemudian Nabi meminta pelepah dua korma dan membelahnya, kemudian memerintahkan agar setiap belahan itu ditanam di atas kuburan. Nabi bersabda : “Sesungguhnya keduanya akan diperingan siksanya selagi kedua pelepah itu masih basah – atau belum kering.”

Lihat Juga :  Jadikan Alquran Petunjuk Hidup di Dunia dan Pasti Jadi Penolong di Akhirat

Dalam hadits lain, dari Anas RA berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda : “Pada malam ketika aku melakukan perjalanan malam (isra’), aku melewati suatu kaum yang mencakar wajah mereka dengan kuku-kuku mereka sendiri. Aku bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang menggunjing dan mencela kehormatan orang lain.”

Agama kita mengajarkan agar kita “sibuk” dengan kekurangan diri kita sendiri (dalam arti terus-menerus memperbaiki diri) sehingga kita lupa dengan kekurangan orang lain dan kalaupun kita tahu kekurangan atau cacatnya tetapi tidak menyebarkannya ke orang lain (berbuat ghibah). Alangkah elok dan terpujinya jika kekurangan orang lain kita tutup rapat-rapat sehingga tidak menimbulkan kekeruhan suasana di masyarakat. Nabi bersabda : “Orang yang menutup kejelekan orang lain di dunia, kelak Allah akan menutupi kejelekannya di hari kiamat.” (HR. Muslim).

Berbagai Cara Lawan Ghibah

Al Hasan berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu tidak akan mencapai hakikat iman sehingga kamu tidak akan mencela orang dengan yang juga ada pada dirimu. Juga hingga kamu mulai memperbaiki cela tersebut, lalu kamu memperbaiki cela dirimu sendiri.

Bila kamu telah melakukan hal tersebut, berarti kamu telah sibuk dengan dirimu sendiri. Hamba yang paling dicintai Allah adalah hamba yang seperti ini.” Sahabat Umar RA berkata, “Kalian harus melakukan dzikrullah, karena sesungguhnya ia merupakan penawar, dan janganlah kamu mengingat manusia karena sesungguhnya ia merupakan penyakit.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang selalu sibuk memperbaiki diri untuk taat kepada-Nya dan terhindar dari segala macam penyakit hati, termasuk penyakit ghibah.Aamiin. Wallahu a’lam bish-shawab.*/ Abu Muhammad Tegar,dosen di Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia (UPI) “YAI” Salemba, Jakarta.(*)

Back to top button