Ayat ke-4 Al-Fatihah, Maaliki Yaumiddiin atau Maliki Yaumiddiin?

AsSAJIDIN.COM — Surat Al-fatihah, adalah bacaan yang sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari. Minimal kita melafazkannya 17 kali dalam sehari, yakni saat melaksanaan sholat.
Surat Alfatihah, adalah surat uamh wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Sebab, ia adalah salah satu rukun dalam shalat. Di samping itu, membaca al-Fatihah harus tepat dan tidak boleh salah dari sisi kaidah tajwid dan qira’at, apabila salah dan akan mengubah makna.
Berangkat dari diskripsi di atas, ada sebagian kalangan yang membaca Surat al-Fatihah ayat keempat dengan membaca panjang huruf mim-nya (mâaliki) pada rakaat pertama, dan membaca pendek huruf mim-nya (maliki) pada rakaat kedua. Bahkan banyak kalangan yang menggunakan dan mengaplikasikan kedua bacaan tersebut dalam shalat.
Terkait persoalan ini, apakah ada riwayat yang sahih tentang bacaan di atas, apakah ada perbedaan makna keduanya, dan apakah bacaan al-Fatihah seperti di atas dapat dibenarkan dalam shalat?
Dalam qira’at Al-Qur’an, baik qira’at sab’ah (tujuh) maupun qira’at asyrah (sepuluh), ada dua pendapat; ada yang membaca panjang huruf mim-nya dan ada pula yang membaca pendek.
Syekh Abdul Fattah al-Qadhi dalam karyanya Al-Budur al-Zahirah fi Qira’at al-Asyr al-Mutawatirah secara spesifik merinci sebagaimana berikut:
Imam Ashim, al-Kisa’i, Ya’kub, dan Khalaf al-Asyir membaca panjang mim sedangkan imam-imam yang lain, seperti Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr al-Bashri, Ibnu Amir, Hamzah dan Abu Ja’far membaca pendek mim (Al-Qadhi, Al-Budur al-Zahirah fi Qira’at al-Asyr al-Mutawatirah, [Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tth], h. 15).
Oleh karena demikian, dari sisi periwayatan bacaan panjang dan pendek pada huruf mim itu dapat dikatakan shahih bahkan mutawatir, karena diriwayatkan dari qira’at yang mutawatirah.
Dari sisi pemaknaan, perbedaan bacaan dalam setiap qira’at ada dua kategori; (1) berpengaruh pada makna dan (2) tidak berpengaruh pada makna.
Perbedaan bacaan yang tidak berpengaruh pada pemaknaan adalah seperti dialek pengucapaan dalam bahasa Arab, semacam bacaan imalah, ibdal hamzah, dan lainnya. Perbedaan bacaan semacam ini lebih dominan masuk pada kategori ushul qira’at atau kaidah dasar dalam ilmu qira’at, ada juga yang masuk pada kaidah furusy al-qira’at.
Sedangkan perbedaan bacaan yang berpengaruh pada pemaknaan adalah seperti perbedaan kata dalam suatu kalimat. Perbedaan makna pada sebuah qira’at yang semacam ini bukan sebuah perbedaan yang kontradiktif dan bertolak belakang, justru perbedaan ini saling mendukung bahkan memperindah makna. Sebab tidak akan pernah dijumpai perbedaan yang kontradiktif dalam Al-Qur’an (Nabil Muhammad, Ilmu al-Qira’at, Nasy’atuhu, Athwaruhu, Atsaruhu fi al-Ulum al-Syar’iyah, [Thab’ah Khassah bi Darah al-Malik Abdul Aziz, 2002], h. 46-47).
Adapun untuk kasus lafadz mim, masuk pada kategori perbedaan bacaan yang berpengaruh pada makna.
Pada lafadz mim yang panjang berarti pemilik, artinya Allah adalah pemilik hari pembalasan. Sedangkan lafadz pendek berarti raja atau penguasa, artinya Allah adalah penguasa hari pembalasan.
Ibnu Khalawaih menjelaskan bahwa alasan bagi yang membaca panjang huruf mim ia berarti pemilik penguasa dan penguasa masuk dalam kategori pemilik, dengan berdalil firmah Allah Surat Ali Imrah 26.
Sedangkan menurut pendapat yang membaca pendek mim mempunyai arti raja atau penguasa dan penguasa lebih khusus dan lebih terpuji dibandingkan pemilik. Sebab kadang pemilik bukan seorang raja atau penguasa, dan tidak ada seorang raja kecuali dia adalah pemilik (Ibnu Khalawaih, Al-Hujjah fi al-Qira’at al-Sab’ah, [Beirut: Dar al-Syuruq, tth] h. 62).
Imam al-Thanthawi menjelaskan bahwa lafadz panjang memiliki arti pemilik, yakni menempatkan sesuatu disertai penguasaannya dalam mengatur. Ia mampu mengatur urusan hari pembalasan; hisab, ganjaran dan siksaan, mampu mengatur yang ia miliki. Sedangkan lafadz pendek memiliki arti raja atau penguasa, yakni Ia pengatur terhadap urusan hari pembalasan, Ia memiliki kekuasaan dan kewenangan pada hari itu. Setiap sesuatu pada hari itu berjalan sesuai dengan perintahnya, pada hari itu, setiap sesuatu terlaksana atas nama-Nya (al-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, t. tth).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Allah adalah dzat sebagai penguasa sekaligus sebagai pemilik hari kiamat. Atas kuasa-Nya, Ia menunjukkan kepada kita bahwa Dialah satu-satunya penguasa sekaligus pemilik hari pembalasan. Tidak ada satupun manusia yang luput dari pantauan dan pengawasannya.
Kedua bacaan tersebut adalah bacaan yang sah dan mutawatir dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meskipun berbeda dalam pemaknaan tapi tidak kontradiktif dan bertolak belakang, bahkan saling mendukung dan memperindah kandungan maknanya. (*/sumber:nu.or.id)