Betapa Berat Menjaga Takwa Setelah Ramadhan Berlalu, Sampai-sampai Rasulullah dan Sahabat Menangis
Hikmah Ramadhan
ASSAJIDIN.COM — Ramadhan akan segera meninggalkan kita. Tentu ada banyak kebaikan telah dilakukan. Akan tetapi, yang penting diperhatikan adalah apakah semua yang diamalkan di dalam Ramadhan, berupa ibadah dan amal saleh yang begitu ringan dijalankan, dapat dipertahankan, bahkan diperkuat dan ditajamkan pada bulan-bulan pasca-Ramadhan.
Inilah pertanyaan yang superpenting agar predikat takwa tak semata melekat pada saat Ramadhan, tetapi sepanjang tahun hingga bertemu kembali dengan Ramadhan pada tahun berikutnya. Bahkan sampai bertemu dengan Ilahi Rabbi.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Me ngetahui lagi Maha Mengenal. (QS al- Hujurat [49]: 13).
Dengan kata lain, esensi, target, atau pun capaian penting yang mesti dijaga setelah diraih dengan beragam amal ibadah dan kebaikan tiada lain adalah ketakwaan itu sendiri. Alquran memberikan banyak penjelasan secara konkret perihal bagaimana orang yang bertakwa itu dalam kehidupannya.
Di antaranya seperti terurai dalam surah al-Baqarah ayat 177.
Seperti memiliki keimanan kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab- kitab, dan nabi-nabi, kemudian memberikan harta yang dicintainya kepada karib kerabat, anak yatim, fakir miskin, orang-orang yang telantar di dalam perjalanan, para peminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, membayar zakat, menepati janji bila berjanji, sabar atas kemiskinan, kemudaratan, dan ketika berada di medan peperangan. Itulah sifat-sifat orang bertakwa.
Semua amalan itu tentu saja tidak boleh terhenti di dalam Ramadhan semata, tetapi harus diupayakan untuk diamalkan pada bulan-bulan lainnya, sekalipun secara kalkulasi pahala, tentu saja Ramadhan jauh lebih berli pat ganda balasannya dibanding dila ku kan pada bulan yang lain.
Namun, semangat untuk menjaga karakteristik takwa di dalam diri, mesti diupayakan sepanjang tahun dan sepanjang hayat.
Permasalahan yang tidak ringan adalah begitu Ramadhan pergi, nuansa religius secara sosial langsung bubar kemudian lenyap. Di sini orang banyak yang lupa dengan kebaikan dirinya pada Ramadhan.
Ibadah perlahan kendur dan godaan untuk melanggar perintah-Nya kian menguat sehingga jika Ramadhan ibadah kuat, di luar Ramadhan komitmen keberislamannya pun melorot.
Di sini, takwa mendapatkan ujian tidak ringan. Jika ditelusuri, mengapa Rasulul lah, sahabat, dan para ulama terdahulu menangis kala akan berpisah dengan Ramadhan, tidak lain adalah karena menjaga takwa pada bulan selain Ramadhan adalah benar-benar tidak mudah.
Menarik kita simak percakapan antara Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab. Ubay bertanya kepada Umar tentang makna takwa.
Khalifah kedua ini malah balik bertanya, Pernahkah engkau berjalan di tempat yang penuh duri?Ubay bin Ka’ab menjawab, Ya, pernah. Apakah yang engkau lakukan? tanya Umar kembali.
“Tentu aku sangat berhati-hati melewatinya! jawab Ubay bin Ka’ab. Itulah yang dinamakan takwa, ujar Umar. (*)