Jauhi Sifat Merasa Paling Benar
ASSAJIDIN.COM — SEBAGAI agama yang agung Islam telah mengajarkan umatnya agar tidak merasa diri paling benar, paling bersih. Sedangkan pihak lain dianggap salah dan kotor.
Allah mengingatkan umat beriman, “Apakah kami tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (QS An-Nisa/4: 49).
Sementara Nabi dalam hadis dari Abu Hurairah, baginda berkata, “Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari).
Memegang kebenaran merupakan keharusan. Tetapi merasa diri paling benar, paling bersih, dan paling suci mesti dihindari agar tidak terjebak pada sikap berlebihan (ghuluw, ekstrem).
Sikap berlebihan dalam hal apapun akan membuat diri menjadi seolah sebagai pengawas dan hakim kebenaran terhadap orang lain, yang belum tentu pihak lain berada di jalan salah atau sepenuhnya salah.
Merasa menjadi polisi dunia. Padahal hidup bersama orang lain yang mesti setara dan berdialog, serta tidak dapat memaksakan kehendak dan pandangan sendiri. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pernah berkata penuh ibrah, “Jika Allah Ta’ala membukakan untukmu pintu shalat malam, jangan memandang rendah orang yang tertidur.
Jika Allah membukakan untukmu pintu puasa (sunnah), janganlah memandang rendah orang yang tidak berpuasa.” Dikatakan pula, “Dan jika Allah membukakan untukmu pintu jihad, maka jangan memandang rendah orang lain yang tidak berjihad.
Sebab, bisa saja orang yang tertidur, orang yang tidak berpuasa (sunnah), dan orang yang tidak berjihad itu lebih dekat kepada Allah ketimbang dirimu.”
Ambilah ibrah, pelajaran sarat makna dari tempat manapun. Hisablah diri sebelum menghisab dan dihisab orang. Bila kita benar sekalipun, tidak perlu gemar menyalahkan orang lain. Jika diri perkasa, apakah tidak congkak menganggap orang lain lunak dan lemah. Seringlah merenung, siapa tahu kita salah menilai keadaan, ketika kita terlalu yakin akan kebenaran sendiri. Agar kita tidak zalim terhadap orang lain dan gagal paham tentang keadaan.
Imam Syafii yang luas ilmu dan luhur akhlaknya berkata bijak, kalamy shawaabu yahtamilu al-khathaa, wa kalamu ghairy hathau yahtamilu al-shawaaba. Artinya: “Pendapatku boleh jadi benar tetapi berpeluang salah, sedangkan pendapat orang lain bisa jadi salah namun berpeluang benar.” [*/SUMBER: MUHAMMADIYAH]