Melihat Warisan Sejak Pra Sejarah Sumatera Selatan di Museum Balaputra Dewa
Rumah Limas dan Megalit Batu Gajah Favorit Pengunjung
PALEMBANG, ASSAAJIDIN.COM — Sebagai tempat sarana edukasi non formal, Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan Balaputra Dewa, yang terletak di Jalan Srijaya 1 nomor 288 KM 5,5 Kota Palembang ini menyuguhkan lebih dari 8.000 koleksi. Termasuk di antaranya Rumah Limas dan Megalit Batu Gajah yang menjadi koleksi terbesar di Indonesia.
Museum Balaputra Dewa ini dibangun pada tahun 1977 dari anggaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kemudian diresmikan pada 5 November 1984. Dengan luas 2,4 hektar, para pengunjung bisa melihat dan mempelajari 10 jenis koleksi yakni Geologika, Biologika, Etnografika, Arkeologika, Historika, Numismatika, Filologika, Keramologika, Seni Rupa dan Teknologi Modern.
Macam-macam peninggalan yang ada, seperti arca pada masa prasejarah atau dikenal dengan peninggalan megalit, prasasti dari peninggalan peradaban kerajaan Sriwijaya, hingga kitab-kitab kuno, tersimpan rapi dan dipamerkan di museum ini. Ada juga mata uang dari masa ke masa dan songket.
Pengelola museum selalu berupaya menambah koleksi. Koleksi terbaru yakni satu kemudi kapal terbuat dari kayu yang telah diteliti pihak Balai Arkeologi diperkirakan peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya abad ke-9.
Pemandu Museum Balaputra Dewa Tamzi mengatakan, sekitar 8000 koleksi ini mulai dari zaman pra sejarah, zaman Kerajaan Sriwijaya, zaman Kesultanan Palembang, hingga zaman kolonialisme Belanda. “Koleksi yang paling menarik perhatian pengunjung yakni Rumah Limas dan Megalit Batu Gajah,” katanya.
Salah satu koleksi menarik yakni Megalit Batu Gajah seberat 5 ton. Ditemukan di Pagar Alam pada 1929 dibawa ke museum pada 1985. Megalit Batu Gajah ini pernah dikunjungi oleh Kepala Negara Belanda, Ratu Beatrix pada tahun 1995. “Megalit Batu Gajah ini koleksi terbesar di Indonesia,” katanya.
Selain itu, yang sering jadi tempat swafoto para pengunjung yakni Rumah Limas. Rumah Limas merupakan rumah adat Palembang. Rumah ini pertama dimiliki oleh bangsawan Palembang, Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Habsyi dan dibangun pada tahun 1830.
Rumah Limas ini pernah beberapa kali pindah karena dibeli, seperti ke Sirah Pulau Padang dan Pemulutan. Pada 1932 dipindahkan ke Palembang dan diletakkan di belakang Menara Air (Gedung Walikota). Kemudian 1985 dipindahkan ke halaman belakang Museum Balaputra Dewa sebagai koleksi terbesar di museum ini.
“Rumah Limas ini dibuat dari kayu Tembesu dan Unglen. Bangunan rumah ini menggunakan pasak dan tidak menggunakan paku,” kata Pemandu Rumah Limas Museum Balaputra Dewa, Nurlela.
Ornamen di atap Rumah Limas disebut dengan Simbar yang menyerupai tanduk kambing. Jika ada dua Simbar, disebut adam dan hawa. Tiga Simbar, Matahari Bulan dan Bintang. Kalau empat yakni para sahabat Nabi Muhammad yakni Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khotob, Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib. Kalau lima itu rukun iman dan enam rukun islam.
“Di Rumah Limas ini ada empat Simbar. Dinamakan Limas karena setiap sisi atap rumah memiliki kemiringan yang sama antara 40-60 derat kemiringan atau disebut dengan piramid yang terpenggal,” katanya.
Rumah ini memiliki dua pintu sisi kiri dan kanan. Di dalamnya, terdapat sulur-suluran atau ukiran di dinding Rumah Limas. Ukiran motif Pakis, Bunga Melati, Bunga Tanjung dan Bunga Tulip, yang memiliki makna, sebagai jiwa kepemimpinan, kesucian, dan ucapan selamat datang.
Rumah Limas memiliki lima tingkatan Bengkilas. Setiap Bengkilas dibatasi oleh Kekinjing. Bengkilas pertama dinamakan Pagar Tenggalong. Disini ada lawang kipas atau kiam jika diturunkan jadi dinding, kalau dinaikkan jadi pelapon.
Tingkatan kedua, Jogan atau ruang penjangaan. Di sisi kiri dan kanan Jogan, ada dua pangkeng atau kamar, lemari/ bupet untuk penyimpanan makanan dan juga Gerobok Leket.
Tingkat ketiga, ruang Gegajah ruang khusus tamu kehormatan atau orang yang lebih dituakan atau lebih dihormati. Ada juga kamar pengantin, ada satu Pangkeng lagi khusus untuk yang sudah menikah.
“Keempat, itu ruang kerja yang dimanfaatkan anak perempuan untuk menyulam ataupun menenun. Kelima tempat sesimbur pengantin,” jelasnya.
Para pengunjung dapat menikmati semua suguhan benda-benda bersejarah yang ada cukup dengan membayar Rp2.000 bagi orang dewasa, dan Rp1.000 anak-anak. Buka setiap Selasa – Minggu dan tutup hari Senin. (Pitria)