Kisah Seniman Legendaris Penari Asal Palembang, Masayu Ana Kumari, Berkarya untuk Seni hingga Usia 73 Tahun

ASSAJIDIN.COM —Siapa tak mengenal Anna Kumari di dunia Seni. Pemilik nama lengkap Massayu Anna Kumari asli dari Palembang ini telah menjadi Seniman penari Istana sejak usia 17 tahun pada 1962 silam.
Lebih dari 50 tarian pun sudah ia ciptakan. Bahkan muridnya pun sudah tak terhitung jumlahnya. Kini, ia terbaring sakit di kediamannya. Namun siapa sangka, dalam keadaan sakit, jiwa Seni dan semangat nya sangatlah luar biasa.
“Yang sakit itu tangan saja, tapi saya masih lancar kalau bicara,” tuturnya membuka percakapan dengan penuh ramah, Selasa (1/9/2020).
Seniman legendaris yang akrab dipanggil Cek Anna ini memang terkenal ramah kepada siapa pun. Ia juga dikenal luas sebagai pelestari tradisi berbagai macam kesenian seperti tari, teater, musik, seni suara dan puisi, semuanya terus ia pertahankan walau usianya sudah 73 tahun.
Selain itu, Anna Kumari memiliki komitmen tinggi terhadap pelestarian seni budaya Palembang. Ia lahir di Kota Palembang pada 10 November 1945, keluarganya pada saat itu termasuk kalangan pejuang kemerdekaan yang memegang teguh prinsip adat.
Sewaktu kecil, Anna Kumari sering diajak orang tuanya menghadiri pernikahan adat Palembang asli, sehingga secara alamiah tumbuh kecintaannya terhadap budaya seni yang Ia jalani hingga kini
Namun siapa sangka, selain menyukai Seni, Ia juga memiliki jiwa pengusaha. Bahkan, jiwa pengusaha nya tak hanya ia pakai sendiri tapi juga ditularkan ke orang-orang agar meningkat secara ekonomi dan tetap mencintai kesenian.
“Dulu, Saya buka tenun songket, saya sedih orang kampung disini di Seberang Ulu dulu banyak putus sekolah. Terus saya ajak kursus tenun songket, Saya ajari ada 50 orang. Saya tidak mau dibayar, malah mereka yang saya kasih honor. Jadi saya tidak hidup dari Seni, tapi seni yang Saya biayai,” terangnya.
Dari kepiawaiannya selain Seni, Anna Kumari kemudian terus menyemangati para generasi muda melalui tenun songketnya. Tak sedikit ia kerap ke luar negeri memamerkan tenun songket asal Palembang.
Alhasil, atas jiwa pengusaha dan mengembangkan hasil tenun songket hingga mancanegara, Anna Kumari mendapat Upakarti dari Presiden Soeharto pada 1993 silam.
Upakarti tersebut diberikan Presiden II RI atas Jasa Kepeloporan Dalam Usaha pengembangan industri kecil yang hingga saat ini dikenal dengan Sanggar Kerajinan Anna Kumari.
Oleh karena itu, ia selalu berpesan kepada anak-anak muda dan generasi saat ini agar terus semangat menatap impiannya. Kuatkan tekad dan jangan patah semangat untuk mengembangkan bakat yang ada.
Bahkan, dirinya yang saat ini memiliki empat anak yakni Para Dewi, Mirza Indah Dewi, Muamar Kadafi dan Farhan Si Gentar Alam serta 13 cucunya kini terus masih semangat untuk membahas tentang Seni.
“Belum lama ada dari Solo, Jakarta, Pekanbaru dan lainya. Mereka datang ke saya tanya tentang Seni, ada yang untuk tugas skripsi,” tuturnya.
Lanjutnya ia menceritakan pada 1962 saat berusia 17 tahun, ia menjadi penari Istana Negara, namun selama menjadi penari istana ia mengaku tidak pernah membawakan tari Sumatera Selatan, melainkan tari Bali seperti Tari Kecak, Tari Panji Semorang dan Tari Pendet dengan dilatih langsung oleh Nyoman Suwarni serta I Wayan Linggih,
“Presiden Soekarno sering melihat kami latihan waktu itu,” kenang Anna Kumari.
Saat kembali ke Palembang, Anna diminta menjadi pimpinan grup seni Kodam II Sriwijaya yang beranggotakan 30 orang, waktu itu Komandan Inmindam IV Sriwijaya Kolonel Makmun Rasjid meminta Anna menciptakan tarian baru.
Dengan alasan politik, Tari Gending Sriwijaya yang saat itu sudah populer tiba-tiba dilarang untuk ditampilkan, tak habis akal kemudian Anna menciptakan Tari Tepak Keraton sebagai pengganti Tari Gending Sriwijaya.
Tari Tepak Keraton diciptakan untuk menggambarkan Kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam masa pimpinan Mahmud Badaruddin II sekitar abad ke-16, puncak kepopuleran tari tersebut saat ditampilkan pada pembukaan MTQ Internasional Tahun 2015 di Palembang.
Tahun 1967 ia mendirikan Sanggar Tari Anna Kumari dengan mencari sendiri penari dari rumah ke rumah agar bersedia berlatih tari di sanggarnya, namun hal tersebut tidaklah mudah.
Semangat mengembangkan kesenian lokal yang penuh liku-liku membuahkan hasil manis, sanggarnya sudah berkeliling di berbagai wilayah di Indonesia bahkan dunia, sampai akhirnya pada 2015 Kementerian Kebudayaan mengganjarnya dengan Penghargaan kategori Pelestari.
Tidak hanya sebatas itu, sudah puluhan penghargaan di bidang seni budaya yang ia terima sepanjang hidupnya dari berbagai instansi, perusahaan dan asosiasi, selain menari ia juga menulis ragam buku adat, seperti Perkawinan 7 hari 7 Malam dan Buku Rebo Akhir Tradisi Budaya Palembang.
Selain ia berharap agar para generasi muda mengembangkan bakat dan meraih impiannya. Ia juga menaruh harap kepada Pemerintah untuk membina, melestarikan dan mengapresiasi para pelaku Seni.
“Karena dulu yang paling berkesan saya ingat diberi penghargaan naik haji VIP oleh Pak Gubernur Sumsel, dulu Gubernurnya masih Pak Syahrial Oesman. Kenapa berkesan, karena yang dapat itu ada guru teladan, pemimpin teladan, ada lima kalau tidak salah. Nah saya diberi penghargaan seniman teladan,” tuturnya.
Dan ia juga masih ingat, belum lama membuat kegiatan pertemuan Seni Internasional dan mendapat apresiasi dari para seniman luar negeri karena sukses menggelar acara yang berkesan.
“Karena ketika itu Saya sangat berterima kasih kepada Ibu Alex Noerdin, karena apa? Karena awalnya beliau sangat support luar biasa acara itu. Bahkan ia memfasilitasi semua,” pungkasnya. (*/Sumber: sibernas/sugj)