Kisah Mualaf, Berawal dari Agama Animisme, Kini Qodir Jadi Pendakwah

AsSAJIDIN.COM — Kupang merupakan wilayah Indonesia Timur yang memiliki pemandangan indah meskipun gersang. Di kawasan gersang dan terpencil di sepanjang lereng perbukitan Amanuban Timur, Timor Tengah Selatan itu, Desa Tliu berada. Di tempat itulah perjalanan seorang mualaf hingga berdakwah seorang pria hebat, Abdul Qodir Lenamah dimulai.
Pada mulanya Qodir merupakan pemeluk agama animisme. Namun hidayah Islam masuk ke dalam hidupnya dengan penuh berkah hingga menjadi seorang mualaf dan kini menjadi pendidik dan pendakwah Muhammadiyah. Mari simak kisahnya!
Naik kuda untuk berdakwah
Selama ini Qodir memegang teguh slogan kairunnas anfa’uhum linnas. “Yakni sebagai warga Muhammadiyah, kita harus terus memberi manfaat. Insya Allah warga di sekitar akan menerima kehadiran kita. Saya melihat kondisi kita sebagai daerah 3T, yaitu terluar, tertinggal, dan terlantar. Oleh karena itu, kita harus kerja keras, cerdas, tuntas, ikhlas,” katanya beberapa waktu lalu.
Secara keseluruhan, hanya ada 9 persen umat Islam di NTT. Oleh karena itu, Qodir terbiasa hidup dengan penuh toleransi antar umat beragama. Sebab sejatinya Allah menciptakan manusia berbeda-beda agama, suku, dan ras untuk saling mengenal.
Sedari kecil Qodir terbiasa hidup penuh perjuangan. Ia dibentuk oleh kondisi alam dan realitas sosial budaya masyarakatnya.
“Mama meninggal ketika saya masih SD. Pada awalnya kami beragama animisme. Namun suatu ketika, seorang Raja Timor masuk Islam. Saya bersama 16 anak kemudian disekolahkan oleh Raja Gunawan Isu ke Pondok Pesantren yang ada di Pulau Jawa. Saya saat itu juga mendapat bapak angkat KH Idham Cholid di Ponpes Darul Qur’an Cisarua Bogor, Jawa Barat,” katanya bercerita kisah hidupnya.
Islam masuk ke pelosok Timor Tengah Selatan pada 1967 setelah Raja Suku Dawam, Raja Usif Gabriel Isu atau Fetor Noebunu, memeluk Islam atas ajakan saudagar Bugis. Setelah mualaf, nama Gabriel Isu diganti menjadi Gunawan Isu.
Ketika Sang Raja masuk Islam maka mayoritas rakyatnya mengikuti jejak Sang Raja ikut memeluk Islam. Di sana Islam merupakan agama yang dijuluki akama boeb metan (agama peci hitam).
Sejak masuk Islam, Raja Gunawan Isu mendirikan madrasah dan masjid. Bahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya umat Islam, Raja Gunawan Isu mengirim 17 kader inti ke Pulau Jawa. Mereka dikirim ke Pulau Jawa untuk belajar ilmu Islam dan ilmu pengetahuan untuk menyebarkan pengetahuan ke warga lokal di daerahnya.
Kader yang dikirim tersebut antara lain Qodir, M. Tamrin Manu, Ahyar B. Liunokas, Moh. Salim Tabun, Kasim Taneo, Umar Asmau, Kasmad Takela, Abdullah Selan, Fakhruddin Tasip, Usman Sole, Mardan Sole, Moh Ali Yuda, Ali Tatang Sone, Hasan Sakan, Sutarman Nenosaet, Sabri Un, dan Alimin Leonutu.
Tiba di Pulau Jawa, Qodir pada mulanya bersekolah PGA di Jawa Barat. Lalu masuk Aliyah di Jakarta dan tamat tahun 1982. Setelah lulus, ia kembali ke kampung halaman dan mengajar di sebuah MI di Takari.
Sampai suatu ketika, Qodir dipanggil oleh Ketua PWM NTT, Zainuddin Akhid, ditawarkan untuk kembali belajar ke Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah Shobron sembari berkuliah di Jurusan Ilmu Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Setelah tamat pada 1986/1987, Qodir meminta SK Lembaga Dakwah Khusus untuk kembali berdakwah ke kampung halaman dan daerah-daerah terpencil.
“Sebelum pulang, saya sempat bersilaturahim kepada Pak Idham Cholid yang menjadi Ketua Umum PBNU ketika itu dan Pak AR Fachruddin yang menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Keduanya memberi pesan supaya saya berdakwah dengan membawa bendera Islam, dan mengesampingkan identitas sempit organisasi,” terangnya.
Hingga saat ini, sudah lebih dari 30 tahun Qodir berdakwah tidak mengenal lelah untuk memajukan warganya. Ia terbiasa menempuh perjalanan kaki dan berkuda demi panggilan mulia.
Alhamdulillah, fisiknya selalu prima. Ketika masih berkuliah di UMS, Qodir pernah meraih juara 2 lomba lari marathon 45 km.
Sekitar 20 kilometer jaraknya dari kampung Qodir, terdapat dua keluarga Muslim yang anaknya sama sekali tidak memperoleh pendidikan agama Islam, bersekolah di sekolah non muslim. “Sejak saat itu, saya berkeinginan membuatkan panti asuhan yang menampung mereka yang letaknya jauh untuk belajar di sini,” ujarnya.
Tahun 2011, Abdul Qodir bersama beberapa kolega mendirikan Panti Asuhan Muhammadiyah. Panti asuhan ini mengajak anak-anak berkumpul, bermain, dan mengaji di sore hari. Saat ini, lembaga yang diberi nama Panti Asuhan Abu Bakar Ash Shidiq ini menampung 20 anak miskin, yatim piatu, dan umumnya rumah mereka jauh dari masjid dan sekolah.
etelah panti asuhan berdiri, Qodir berkeinginan membangun masjid dan sekolah. “Mulanya, saya mengumpulkan seluruh keluarga dari Islam, Kristen, Katolik. Saya bersama keluarga besar suku Lenamah memusyawarahkan lahan tidur ini supaya menjadi lahan hidup produktif.”
Jika untuk pertanian saja, tidak akan maksimal, karena kondisi geografisnya yang kering kerontang. Keluarga setuju mewakafkan 7 hektar tanah pengunungan ini untuk mendirikan lembaga pendidikan formal dan nonformal.
Qodir yang menjabat Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah di daerahnya itu beruntung mendapat dukungan dari keluarga. Rahmawati Lanu, sosok istri yang dinikahi pada 1990 selalu mendukung perjuangannya. Istrinya juga merupakan seorang mualaf. Saat ini, mereka telah dikaruniai 4 anak, tiga di antaranya sedang menempuh pendidikan di Pulau Jawa.
Sehari-hari di rumah, Qodir menampung anak-anak lulusan Panti Asuhan. Tahun ini menampung 5 anak, sebelumnya sampai 10 anak. Alasannya, supaya anak-anak itu tetap bisa bersekolah di SMP yang jaraknya lebih dekat dengan rumahnya.
Kerja keras Qodir perlahan membuahkan hasil. Pada 2016, SD Muhammadiyah Mnelabesa yang mereka inisiasi mulai berdiri. Hanya ada tujuh siswa, tiga ruang belajar, dan sebuah masjid berukuran 25×25 meter, pada mulanya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir bersama rombongan datang untuk meresmikan SD Muhammadiyah tersebut pada 6 November 2017. Perlahan, sekolah ini mendapat sambutan positif masyarakat yang terus didekati oleh Qodir. Para siswa terus bertambah menjadi 17, dan sekarang sudah 34 siswa.
Setahun kemudian, konsorsium Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang terdiri dari UM Surakarta, UM Yogyakarta, UM Kupang, dan Uhamka, melakukan peletakan batu pertama pengembangan gedung SD Muhammadiyah Mnelabesa. Peletakan batu pertama dilakukan bersamaan dengan penyerahan izin operasional SD dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) setempat.
Izin operasional ini sempat menjadi rintangan. Lebih dari sepuluh kali, Abdul Qodir dan tim harus bolak-balik ke Dinas PPO, memenuhi semua kelengkapan administrasi. Terutama karena jumlah guru dan jumlah siswa yang dinilai tidak layak untuk diberikan izin.
Padahal, SD Inpres terdekat berjarak lebih dari 10 kilometer yang harus dilewati dengan berjalan kaki di medan terjal. Sembari itu, Qodir membangun branding dan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah ini.
Guru mata pelajaran PKN dan IPA SD Muhammadiyah Mnelabesa, Syamsudin Lemanah mengatakan, ia mengajar di SD yang dihuni para siswa muslim, Kristen, dan Katolik itu. Para guru mencontoh jalan dakwah Kiai Dahlan, yang tidak membedakan muridnya.
“Pak Qodir sangat baik. Selalu punya niat tulus mendidik anak-anak bangsa. Pak Qodir berdakwah tanpa mengenal alat transportasi. Berjalan kaki hingga 20 km. Dulu, tidak ada alat transportasi, sesekali pakai kuda dan semangat berdakwah hanya mengharap imbalan dari Allah,” kata Syamsuddin yang juga Pengasuh Panti Asuhan Abu Bakar Ash Shidiq.
Seperti dilansir website Suara Muhammadiyah, Rabu (20/11/2019), rupanya perjuangan Qodir ini membuat Muhammadiyah tergerak. Akhirnya perjuangannya yang tak mengenal lelah mengantarkannya meraih Muhammadiyah Award kategori Penggerak Dakwah Muhammadiyah/’Aisyiyah di Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terpencil). Ini merupakan prestasi luar biasa yang tak bisa dinilai dengan uang.(*/sumber: okezone)