Tangis Cinta Bilal bin Rabah
AsSAJIDIN.COM — Bilal bin Rabah adalah Muadzin Rasulullah SAW. Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah dan ibunya bernama Hamamah, seorang budak berkulit hitam yang tinggal di Makkah.
Bilal ini bekas budak Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum Quraisy. Ketika Makkah diterangi cahaya agama baru, Bilal adalah termasuk orang yang pertama memeluk Islam.
Bilal dibebaskan dari perbudakannya oleh Abu Bakar. Abu Bakar mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan membayarnya. Tapi ternyata Abu Bakar setuju untuk membeli Bilal dengan harga yang sangat tinggi.
Bersama Rasulullah Bilal diperlakukan dengan baik. Ia tidak dianggap lagi sebagai seorang budak. Hal ini membuat Bilal semakin hari semakin mencintai Rasulullah. Cinta yang bening kepada seorang Rasul mulia yang telah memberinya derajat mulia sebagai manusia merdeka.
Ketika Rasulullah selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah, Rasulullah menunjuk Bilal untuk menjadi Muadzin yang menyerukan adzan sebanyak lima kali dalam sehari.
Kecintaan Rasulullah kepada Bilal pun begitu besar. Ketika Rasulullah menerima hadiah berupa tiga buah tongkat dari raja Habasyah, Rasulullah memberikannya kepada Ali bin abi Thalib, Umart bin Khathab, dan Bilal bin Rabah. Bilal senantiasa membawa tongkat itu kemana pun ia pergi.
Namun siapa yang dapat menghalangi perjumpaan dan perpisahan yang telah Allah takdirkan. Cinta Bilal kepada Rasulullah terkoyak tatkala Rasulullah harus kembali kepada Allah SWT.
Sejak saat itu, Bilal kehilangan suaranya. Tak kuasa lagi ia melantunkan adzan. Setiap kali melantunkan adzan, air matanya tumpah. Bilal tersimpuh dan menangis tersendu-sendu hingga sahabat yang lain ikut meneteskan air mata. Ia tak sanggup lafalkan ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’. Terlampau banyak kenangan indah yang menghiasi hidup bilal ketika Rasulullah masih ada.
Bilal lebih memilih meninggalkan Madinah untuk mengurangi kesedihannya. Karena disetiap sudut kota Madinah terdapat kenagan indah dirinya bersama Rasulullah.
Suatu hari Fatimah binti Rasulullah memintanya untuk mengumandangkan adzan kembali. Semula Bilal ragu. Namun, karena yang meminta adalah putri Rasulullah maka ia tak mampu menolaknya. Apalagi pada saat itu Fatimah sedang sakit keras.
Bilal segera naik ke menara Masjid. Dadanya ruah dengan kenangan bersama Rasulullah. Dari menera tersebut biasanya Bilal melihat Rasulullah sedang berwudhu, namun kali ini tidak lagi. Ia akhirnya memulai melantunkan adzan yang suaranya merdu serta menggema seantero Madinah.
Penduduk Madinah diam seketika. Semua orang menghentikan pekerjaannya. Hati mereka bergetar mendengar suara Bilal.
Mereka berlari menuju Masjid. Seketika segenap kerinduan pada masa-masa keberadaan Rasulullah membuncah dalam dada. Air mata penduduk Madinah berlinangan.
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah…
Bilal tak mapu lagi menahan kesedihannya. Ia bersimpuh lalu menangis tersedu-sedu. Sementara di dalam rumah, Fatimah pingsan saat nama ayahnya dikumandangkan. Hasan dan Husain datang kepada Bilal dan memintanya menghentikan adzan. Bilal langsung memeluk kedua cucu rasulullah dengan derai air mata.
Bilal lalu meninggalkan Madinah. Ia pergi ke Syam dengan membawa rindu yang terpatri dalam hatinya. [*/sumber:islampos.com]