HAJI & UMROH
Apakah Jamaah Haji Boleh Berqurban di Tanah Air?
AsSAJIDIN.COM — Apakah jamaah haji juga dianjurkan berqurban di tanah air.. krn di sana mereka jg menyembelih kambing..
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelum kita membahas qurban bagi jamaah haji, ada bagian yang perlu kita pahami, bahwa ketika idul adha, ada 2 sembelihan yang dilakukan kaum muslimin,
[1] Berqurban (al-Udhiyah). Kegiatan ini dilakukan oleh kaum muslimin sedunia. Sesuai dengan aturan sebagaimana yang telah dipahami.
[2] al-Hadyu adalah sembelihan yang dihadiahkan untuk tanah suci Mekah dalam rangka beribadah kepada Allah. Dagingnya dibagikan ke fakir miskin di sekitar kota Mekah. Tidak semua jamaah haji disyariatkan menyembelih hadyu. Diantara yang diwajibkan menyembelih hadyu adalah jamaah haji tamattu’ atau qiran. Seperti jamaah haji Indonesia, yang umumnya mengikuti program tamattu’.
Ulama berbeda pendapat, apakah jamaah haji disyariatkan untuk berqurban ataukah tidak?
Pendapat pertama, jamaah haji, meskipun diwajibkan menyembelih hadyu, dia juga boleh berqurban. Baik qurbannya disembelih di tanah haram atau di tanah air. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
An-Nawawi menyebutkan,
قال الشافعي رحمه الله في كتاب الضحايا من البويطي الاضحية سنة على كل من وجد السبيل من المسلمين من أهل المدائن والقرى وأهل السفر والحضر والحاج بمنى وغيرهم من كان معه هدى ومن لم يكن معه هدى
Imam as-Syafii mengatakan dalam Bab ad-Dhahaya dalam kitab Mukhtashar al-Buthi, ‘Berqurban itu sunah bagi mereka yang memiliki kelonggaran diantara kaum muslimin, baik dia tinggal di perkotaan, desa, yang sedang safar maupun tidak safar, para jamaah haji di Mina maupun di tempat lainnya yang menyembelih al-Hadyu atau yang tidak menyembelih hadyu.‘ (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/383).
Pendapat kedua, jamaah haji tidak disyariatkan untuk berqurban.
Semua kaum muslimin disyariatkan berqurban kecuali jamaah haji. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan pandapat al-Abdari dari kalangan Syafiiyah.
An-Nawawi mengatakan,
وأما قول العبدري الاضحية سنة مؤكدة على كل من قدر عليها من المسلمين من أهل الامصار والقرى والمسافرين الا الحاج
Adapun pendapat al-Abdari, berqurban hukumnya sunah muakkad bagi setiap muslim yang memilki kemampuan, yang tinggal di perkotaan, pedesaan, maupun musafir, kecuali jamaah haji. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/383).
Sementara pendapat Imam Malik dinyatakan dalam al-Mudawwanah.
Syahnun bertanya kepada Ibnul Qasim,
قلت: أرأيت المسافر هل عليه أن يضحي في قول مالك؟ قال: قال مالك: المسافر والحاضر في الضحايا واحد.
قلت: أفعلى أهل منى أن يضحوا في قول مالك؟ قال: قال لي مالك: ليس على الحاج أضحية وإن كان من ساكني منى بعد أن يكون حاجا.
قلت: فالناس كلهم عليهم الأضاحي في قول مالك إلا الحاج؟ قال: نعم
Syahnun: “Apakah musafir juga disyariatkan untuk berqurban menurut Imam Malik?”
Ibnul Qasim: “Imam Malik mengatakan, musafir dan bukan musafir, hukum berqurban statusnya sama.”
Syahnun: “Apakah penduduk Mina juga berqurban, menurut Imam Malik?”
Ibnul Qoasim: “Imam Malik berkata kepadaku, ‘Jamaah haji tidak disyariatkan berqurban, meskipun dia penduduk M…
[15:24, 8/14/2018] +62 813-1972-9839: Apakah Jama’ah Haji Dianjurkan Pula untuk Berqurban?
Penulis
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Perlu diketahui bahwa yang menjalankan ibadah haji dengan mengambil manasik tamattu’ dan qiron punya kewajiban untuk menunaikan hadyu (hewan sembelihan yang dihadiahkan untuk tanah haram Mekkah). Sedangkan di sisi lain saat Idul Adha juga dianjurkan bagi kaum muslimin untuk berqurban (menunaikan udhiyah). Bagaimanakah dengan jama’ah haji? Apakah mereka disunnahkan pula melakukan kedua-duanya?
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Udhiyah (qurban) disunnahkan untuk jama’ah haji dan seorang musafir sebagaimana disunnahkan bagi orang yang mukim. Tidak ada beda dalam hal ini dan tidak ada beda pula sunnahnya hal ini bagi laki-laki maupun perempuan.” (Al Muhalla, 7: 375)
Riwayat berikut ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk istri-istrinya saat berhaji.
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ « مَا لَكِ أَنَفِسْتِ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ « إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ » . فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (ia berkata), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui ‘Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekkah dan ketika itu ‘Aisyah sedang menangis. Beliau pun bersabda, “Apakah engkau haidh?” “Iya”, jawab ‘Aisyah. Beliau bersabda, “Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji selain dari thawaf di Ka’bah.” Tatkala kami di Mina, kami didatangkan daging sapi. Aku pun berkata, “Apa ini?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan udhiyah (berqurban) atas nama dirinya dan istri-istrinya dengan sapi.” (HR. Bukhari no. 5548)
Syaikh Dr. ‘Abdullah As Sulmiy, Dosen Ma’had ‘Ali lil Qodho di Riyadh KSA ditanya, “Apa hukum menggabungkan antara hadyu dan udhiyah (qurban)?”
Beliau -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata,
“Yang kita bahas pertama, apakah udhiyah (qurban) dianjurkan (disunnahkan) untuk jama’ah haji. Para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah bahwasanya hal itu tidak dianjurkan (disunnahkan). Sedangkan ulama Syafi’iyah, Hambali dan juga Ibnu Hazm berpendapat tetap disunnahkannya udhiyah (qurban) bagi jama’ah haji. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Karena udhiyah itu umum, untuk orang yang berhaji maupun yang tidak berhaji. Dan ada hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berqurban (menunaikan udhiyah) padahal beliau sedang berhaji. Seperti riwayat Daruquthi, namun asalnya dalam shahih Muslim yaitu dari hadits Tsauban …. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban saat haji dan waktu lainnya.” [Sumber fatwa: http://www.youtube.com/watch?v=F-Oy26wROk0]
Lantas bagaimana mengenai larangan mencukur bagi shohibul qurban, apa berlaku juga untuk jama’ah haji yang juga berqurban di negerinya?
Syaikh Dr. Abdullah As Sulmi mengatakan bahwa larangan tersebut tetap berlaku bagi jama’ah haji yang berqurban. Namun setelah tahallul awal mereka boleh memotong kuku dan mencukur rambut meski qurbannya belum disembelih. Karena mencukur saat tahallul itu perintah dan untuk shohibul qurban tadi adalah larangan. Berdasarkan kaefah, perintah didahulukan dari larangan. [Faedah dari ceramah beliau pada link di atas]
Mudah-mudahan bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. (*/sumber: konsultasisyariah.com)