Kisah Bijak Para Ulama : Yang Tua tidak Merasa Paling Benar, yang Muda Tahu Diri
AsSAJIDIN.COM –– Alkisah, seorang ulama terkemuka bernama Syekh Man’usy al-Maghribi dalam sebuah forum melontarkan penolakan terhadap pendapat Imam asy-Syafi’i yang mengatakan:
Artinya: “Jika satu syarat masuk ke dalam syarat yang lain maka tidak akan ada konsekuensi hukum, kecuali mendahulukan syarat terakhir.”
Dalam kitab Maraqil ‘Ubudiyah karya Syekh Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani dicontohkan, jika seseorang berkata pada istrinya dengan ucapan berikut: Bila engkau masuk rumah ini maka aku akan menalakmu. Bagi Imam asy-Syafi’i, hukum talak tidak terjadi kecuali bila wanita (istri) itu masuk ke dalam rumah. Syekh Man’usy pun menyampaikan kepada semua ulama dari empat mazhab yang hadir bahwa pendapat Imam asy-Syafi’i itu tidak ditemukan dalilnya dalam ungkapan bangsa Arab.
Ada ulama yang bernama Syekh Hamdan membantah pendapat Syekh Man’usy tersebut. Seketika, ulama yang lain pun mencemoohkannya. Syeikh Hamdan yang usianya paling muda di antara yang lain menguatkan pendapat Imam asy-Syafi’i. Menurutnya, apa yang dikatakan Imam asy-Syafi’i itu benar adanya.
Tapi Syekh Man’usy memberikan kesempatan Syeikh Hamdan untuk memberikan pendapat. Syekh Man’usy pun berkata, “Antara kita dan kebenaran tidak ada permusuhan, walaupun kebenaran itu datang dari seorang yang masih remaja. Sedangkan di antara kekhususan kami adalah menerima kebenaran dari mana pun datangnya. Tidak terkecuali dari seorang pemuda.”
Kemudian Syekh Man’usy menoleh kepada Hamdan seraya berkata, “Katakanlah, apa pendapatmu?” Lalu Syekh Hamdan menjawab, “Bagaimana pendapatmu tentang perkataan seorang penyair dalam struktur al-bahr al-basith ini?”
Artinya: “Jika mereka takut lalu meminta bantuan kepada kami, niscaya mereka akan mendapatkannya. Tempat-tempat kemuliaan yang dihiasi kemurahan hati.”
Menurut Syekh Hamdan, syair di atas menunjukkan bahwa pertolongan itu dibutuhkan setelah adanya rasa takut. Dan bukan sebelum adanya rasa takut. Adapun yang dikatakan Imam asy-Syafi’i itu benar karena dibuktikan dengan pernyataan fasih bangsa Arab. Mendengar pendapat itu, Syekh Man’usy pun tersenyum. Ia lantas berkata: “Benar yang kau katakan, wahai anakku,” lalu ia mendoakannya.
Ulama adalah pewaris para nabi. Maka, ulama mesti mencerminkan akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah. Memuliakan orang tanpa melihat usia, suku, ras, dan agama. Seorang ulama juga mesti membuka diri (inklusif). Ia harus menyadari bahwa pendapat yang dipegang bisa juga keliru.
Kisah ini memuat pelajaran tentang kebijaksanaan ulama sepuh dalam menyikapi perbedaan pendapat orang lain. Ia terbuka menerima kebenaran dari mana saja dan dari siapa saja. Tak terbatas pada perbedaan usia maupun mazhab. Apalagi hanya berbeda organisasi. Usianya yang lebih tua tidak membuatnya lantas merasa paling benar. Begitu juga ulama yang usianya lebih muda harus juga tahu diri. Artinya tetap mengedepankan akhlak yang mulia dalam menyampaikan ketidaksetujuannya atas satu pendapat. (*/sumber: nu.or.id)