Kisah Umar Bin Khatab yang Menangis Saat Berkunjung ke Rumah Rasulullah
AsSAJIDIN.COm — Suatu ketika, sahabat Umar bin Khattab RA berkunjung ke rumah Rasulullah SAW ketika dia telah masuk ke dalamnya, dia tertegun melihat isi rumah beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar. Sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa Beliau gunakan untuk berwudhu.
Keharuan muncul dalam hati Umar RA. Tanpa disadari air matanya berlinang, maka kemudian Rasulullah SAW menegurnya, “Gerangan apakah yang membuatmu menangis?” Umar pun menjawabnya, “Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah?
Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal di tangan Tuan telah tergenggam kunci dunia Timur dan dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah?”
Lalu Beliau menjawab, “Wahai Umar, aku ini adalah rasul Allah, aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan bukan pula seorang kisra dari Persia. Mereka hanya mengejar duniawi, sedangkan aku mengutamakan ukhrawi.”
Kata-kata “Aku bukan kaisar Romawi”, “Aku bukan kaisar Persia”, tidak berarti Rasulullah tidak memiliki kesempatan, mengingat keterangan Umar bahwa di tangan Rasulullahlah tergenggam kunci dunia Timur dan dunia Barat. Namun, niat Rasulullah SAW dalam kalimat terakhir itu merupakan kata paling berharga, “Mereka hanya mengejar duniawi, sedangkan aku mengutamakan ukhrawi.”
Apa yang diisyaratkan Rasulullah SAW sangatlah jelas bahwa tidak selamanya hidup dengan kemewahan dan gelimang harta adalah berkualitas, justru sebaliknya. Sering kali kehidupan semacam itu menjadikan hidup terasa kering dan sunyi.
Kesederhanaan akhir-akhir ini menjadi makhluk langka, apalagi di tengah-tengah perkotaan yang megah. Kesederhanaan identik dengan kebodohan dan kemiskinan. Jangankan barangnya, disebut saja sangat jarang. Kesederhanaan sebagai konsep dan perilaku kini telah menjadi orang asing di rumah sendiri. Kesederhanaan mulai tergusur dengan kemewahan, dengan perbelanjaan (konsumerisme) dan segudang aktivitas ekonomi lainnya.
Kesederhaan tidak hanya tecermin dalam gaya hidup, tetapi juga dalam pola pikir mencari penghidupan. Seorang yang berpikiran sederhana tentunya tidak akan sampai melebihi batas kebutuhan hidup. Tuntutan dan keinginan akan selalu disesuaikan dengan kemampuan. Sehingga, tidak ada rasa ingin menguasai dan memiliki hak orang lain di luar haknya.
Sebuah perkataan yang perlu dipikirkan adalah cukupkanlah hidupmu dengan penghasilanmu. Artinya, dalam ranah perekonomian individu dan keluarga perlu adanya strategi pendanaan yang berakar pada pengendalian nafsu berbelanja dan membeli. Kita harus kembali belajar memilah antara perkara yang harus dibeli, yang boleh dibeli, dan yang tidak perlu dibeli.
Kisah kesederhanaan Rasulullah SAW yang terekam dalam hadis di atas, menceritakan betapa beliau tidak mempunyai ke inginan menumpuk harta, walaupun jika mau sangatlah mudah bagi nya. Rasulullah telah mengajarkan arti kesederhanaan. Wallahu a’lam.(*/sumber: republika.co.id)