Mengenal Sunan Goren, Tokoh Syiar Agama Islam di Palembang

PALEMBANG, AsSAJIDIN.Com — Tidak banyak sejarah yang mencatat perjalanan kisah Sunan Goren yang berkedudukan di tepi Sungai Goren Seberang Ulu pesisir Palembang. Dinamakan Sunan Goren, karena beliau merupakan adik kandung dari Pangeran Ario Kesumo Abdurrohim yang kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Palembang pertama, dengan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidil Iman yang berkuasa pada sekitar masa 1659 hingga 1706.
Seiring wafatnya Pangeran Ratu Mangkurat Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rejek, kekuasaan Palembang kemudian diambil alih oleh adik beliau, yang bernama Pangeran Ario Kesumo Abdurrohim Kemas Hindi.
“Nah, sejak masa pemerintahan Sultan Abdurahman ini lah, Palembang memutuskan hubungan politiknya dengan Mataram dan melahirkan suatu kekuasaan baru yang disebut sebagai Kesultanan Palembang Darussalam,” kata Ujang Khadafi, Pemerhati Kajian Budaya Islam di Palembang membuka perbincangan bersama AsSajidin kemarin , Minggu (10/12 )
Lebih Lanjut Ia menjelaskan ,bahwasanya dari beberapa analisa dan temuan sejarah pada masaa itu Kesultanan Palembang Darussalam di bawah kepemimpinan Sultan Abdurahman, kemudian memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Kuto Gawang ke Kuto Cerancangan yang terletak di Beringin Janggut saat ini.
Langkah pemindahan itu sambung dia, sebenarnya merupakan antisipasi menghadapi kemungkinan terburuk pasca pemutusan hubungan poliknya dengan Mataram yang kala itu sudah menjadi target penguasaan Hindia Belanda.
“ Sebagian daerah Palembang yang bermuara di Seberang Ulu, oleh Sultan Abdurahman kemudian di serahkan kepada adik kandungnya bernama Kemas Tumenggung Yudapati yang kemudian di juluki sebagai Khalifah Kecik dan berkedudukan di tepi Sungai Goren. Nah, saat itu sebenarnya, cikal bakal lahirnya Sunan Goren di Palembang sudah mulai tercatat oleh sejarah, “ terang Ujang.
Sementara itu, Nancik Zidan Syam,pemuka masyarakat yang tinggal di kawasan seberang Ulu 1 Palembang menuturkan sebuah cerita, bila dulu Sungai Goren yang terletak di Seberang Ulu merupakan sebuah kawasan dengan penghasil rempah-rempah ter baik dan hasil sungai nya mampu menjadi kawasan wisata bagi negri-negri kecil di Swarnadwipa atau tanah melayu.
“ Saya sendiri juga belum tahu dimana persisinya keberadaan Sungai Goren tersebut. Hanya, menurut cerita turun menurun, Sungai Goren itu letaknya persis di Sungai Grong saat ini. Nah, masyarakat sekitar pun percaya bahwa dulu di kawasan Sungai Grong tersebut pernah bermukim seorang ahli agama Islam yang menyebarkan ajaran Islam ke semua penduduk. Mungkin ahli agama yang di maksud itu adalah Sunan Goren, “ terangnya.
Menurut Zidan, sosok Sunan Goren yang banyak di ceritakan oleh masyarakat secara turun menurun itu masih bersifat simpang siur. Ada yang bilang, Sunan goren adalah pensyiar agama Islam, namun ada juga yang mengatakan Sunan Goren itu sebagai ahli seni.
“ Ya, banyak yang bilang Sunan Goren membawakan syiar agama nya dengan berkesenian. Ya mirip-mirip sedikit lah dengan Sunan Kalijaga di Pulau Jawa, “ cetus Zidan sembari tertawa kecil.
Lanjut Zidan, walaupun Sunan Goren merupakan adik kandung dari Sultan Abdurahman, beliau tidak pernah memanfaatkan kekuasaan yang di berikan saudaranya kepadanya. Sunan Goren, pernah mengalami kesulitan hidup dan dalam keadaan miskin. Namun Ia tidak pernah memanfaatkan kekuasaanya untuk mendapatkan kekayaan pribadi.
“ Sosok Sunan Goren yang bersahaja dan rendah hati, membuat rakyatnya ingin berusaha membantu. Namun Sunan menolaknya dan berkata, saya ingin bekerja untuk kalian, dan andaipun kalian membayarku karena hasil kerjaku itu, maka itu sangat baik bagiku. Tapi jika kalian memberikan bantuan itu karena kasihan kepadaku, sesungguhnya aku bukanlah pemimpin yang baik bagi kalian, “ ujar Zidan menirukan ucapan tutur dari leluhurnya.
Kisah perjalanan Sunan Goren yang tidak memanfaatkan kekuasaanya untuk kepentingan pribadi, melainkan bekerja untuk rakyatnya. Seharusnya mampu menjadi suri teladan bagi pemimpin kita saat ini.
“Selain sebagai sunan yang mensyiarkan agama Islam, Sunan Goren dan keturunannya juga dikenal sebagai Sunan yang memulai sejarah perakitan bidar di Palembang. Berdasarkan sumber buku yang saya baca dan cerita tutur dari almarhum RM Husin Natodirajo dan Mgs.Husni Shaleh,SH. Bahwasanya, Sang Sunan memiliki kepandaian merakit bidar.
Salah satu karyanya sempat di pakai oleh Raden Ayu Jayodilago dan pengawalnya yang bernama Nyimas Ireng ketika mengungsi di Sungai Palembang, sebelum akhirya di tangkap dan di bunuh di perasingan kemudian di makamkan di Tanjung Lago,” ungkapnya.
Alkisah, sambung Zidan, sepeninggal Kemas Tumenggung Yudapati atau Sunan Goren, pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam, yang daerah Seberang Ulu nya di pimpin oleh Sunan Goren dan keturunannya . Kota Palembang kala itu, kehilangan hasil hutan berupa kayu terbaik yang biasa di pergunakan untuk sarana pembuatan kapal pesiar.
Untuk mensiasati hal itu, Sultan Palembang membuat pengumuman sayembara yang berisi, barang siapa atau daerah mana yang bisa membuat perahu bidar akan diberi hadiah istimewa yaitu hubungan kekeluargaan dengan pihak istana Palembang.
“ Nah, saat itu seorang pemuda yang berasal dari desa Tanjung Lago menyanggupi pembuatan kapal bidar itu. Setelah selesai membuat bidar dan bidar buatan mereka kebetulan menang, maka Sunan Palembang membayar janji yang diucapkan ketika sayembara itu digelar, “ujarnya.
Oleh sebab itu, kepada anak cucu masyarakat Tanjung Lago yang pandai membuat kapal bidar, Sunan menyebutnya dengan nama Cek Agus. Sejak saat itulah, gelar Cek Agus disematkan pada orang yang pandai membuat kapal bidar. (*)
Penulis: Jemmy Saputera